Sebagian besar anak bangsa di penjuru negeri diyakini menggemari cerita. Hanya media ungkapnya saja yang berbeda.
DUITO SUSANTO, Samarinda
DI lapak kecil berimpitan dengan Bioskop Mahakama di Jalan Pulau Irian Samarinda, Syafruddin Pernyata kecil menyemai bibit-bibit literasinya. Buku-buku dagangan ayahnya yang bekerja sebagai tukang cukur menjadi pupuknya. Sehari-hari, dia mengasupi pikirannya dengan aneka bacaan.
“Saya sudah membaca buku Demokrasi Kita-nya Muhammad Hatta sejak umur 13 tahun,” kenang Syafruddin saat ditemui Rabu (11/5).
Koleksi bacaan ayahnya lumayan banyak. Sebagian besar tentang agama. Juga karya-karya milik Hamka. Ayahnya juga beberapa kali memilihkan bacaan untuk Syafruddin. Seperti Merantau ke Deli dan Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. “Bapak itu sekolahnya kelas tiga SR (sekolah rakyat), tapi dia doyan baca,” kisah pria kelahiran Loa Tebu, Tenggarong, Kukar, itu.
Syafruddin merasa kemampuan literasi ayahnya tergolong hebat. Kendati tak banyak menulis, ayahnya gemar mencatat momen-momen penting. Seperti kelahiran anak, cucu, dan kerabat. Salah satu catatan ayahnya yang baru-baru ini ditemukan Syafruddin berbunyi begini; Syafruddin telah dapat membeli baju atau celana baru dari hasil penjualan limus di Samarinda.
Catatan dengan tulisan tangan pada 6 Juli 1969 itu membuat Syafruddin menangis saat menemukannya. “Jarang orangtua bisa begini,” tutur dia.
Didukung literasi yang baik, Syafruddin mulai memberanikan diri tampil pada lomba-lomba. Sekitar 1973, pria yang menjabat kepala Dinas Pariwisata Kaltim pada 2017-2018 itu unjuk kemampuan lewat ajang membaca puisi tingkat SMP. Menang. Lalu ketagihan. Ikut lagi deklamasi puisi. Gagal. Sebab, di tengah deklamasi, dia lupa sebagian puisi karya Chairil Anwar yang dibawakannya. “Saya naaaangis,” ujar dia lantas tersenyum. “Cerita sama Bapak. Dia bilang, biasa aja itu,” lanjut Syafruddin terkekeh.
Kegemaran membaca bermuara pada keinginan menulis. Dimulai dengan menggubah puisi. Pada 1975, Syafruddin mengambil kelas menulis jarak jauh untuk menjadi wartawan yang diselenggarakan Elsinar. Bahan dikirim via pos dari Pematang Siantar. Hasilnya ditumpahkan pada majalah dinding sekolah. Terbit mingguan sebanyak 20 halaman folio. “Untuk menumpahkan kesenangan menulis puisi dan cerpen,” ujar ayah dari lima anak itu.
Karya-karya mulai dikirimkan ke media massa seperti Majalah Anita dan majalah remaja; Gadis. Dulu, kenang Syafruddin, ada album cerpen Anita, album cerpen Merapi, dan album cerpen ringan. Honornya Rp 25 ribu setiap kali terbit. “Saya ngirimnya pakai perangko balasan. Supaya karya yang tidak terbit bisa dikembalikan,” sebut dia.
Lantaran sudah bergelut di dunia kewartawanan sebagai redaktur di Majalah Mingguan Sampe, Syafruddin mafhum bahwa persepsi pengampu halaman fiksi juga berbeda-beda. Dia juga meyakini unsur pertemanan bisa menjadi penentu terbit atau tidaknya karya yang dikirim. Sehingga, dia menyiasati dengan membangun hubungan baik dengan awak redaksi.
Seperti misalnya dengan Yani Wulandari, pengarang cerpen dari Tabloid Cemerlang. Untuk mendekatinya, Syafruddin berkirim naskah disertai surat yang ditulis tangan, “Mba Yani, saya Syafruddin Pernyata, pengagum cerita pendek Mba Yani. Saya sekarang juga menulis. Ini naskahnya saya kirim”.
Gayung bersambut. Kedekatan personal berbuah manis. Suratnya berbalas, “Bang Syafruddin, ceritanya lagi diilustrasikan. Kirim lagi yang lain ya”.
Sekitar 1986, Syafruddin menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Mulai Universitas Mulawarman Samarinda, Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, hingga Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI). Mabuk dosen itu membuat kegiatan menulisnya stagnan. “Ditambah waktu itu sudah bebini juga. Jadi, nganggap sudah tidak penting mencari duit dengan menulis,” ujar dia.
Hasrat menulis muncul lagi pada 1990-an. Saat itu, sudah ada teknologi bernama komputer. Saat menimba ilmu di Bandung, Jawa Barat, pun pada 1992, Syafruddin masih aktif menulis. Bukan cerpen atau puisi, tapi hal-hal lain untuk mengisi rubrik opini. “Lalu kemudian vakum (menulis). Baru kemudian aktif lagi pada 2015,” urai pemilik Taman Salma Shofa itu.
Mulai menggeliatnya jejaring sosial seperti Facebook membangkitkan gairah menulis kembali. Sebab, gampang. Menulis bisa di mana saja. Menggunakan telepon pintar. Tulisan penanda kembalinya Syafruddin, terkait pekerja tambang emas di Cempaka, Banjar Baru, Kalsel. Yang mau tak mau menggantungkan hidupnya dari aktivitas tersebut. “Saya menulis tentang itu. Keranjingan. Sampai sekarang,” tutur dia.
Keranjingan menulis membuat Syafruddin mulai melahirkan buku-buku. Seperti novel berjudul Aku Mencintaimu Shanyuan. Sebelumnya, dia sudah menerbitkan karya-karya bukan fiksi semacam buku motivasi Belajar dari Universitas Kehidupan. “Buku itu laris, sudah tiga kali naik cetak,” ujar dia.
Belajar dari Universitas Kehidupan berisi tentang kisah-kisah nyata yang dikemas ringan dan ringkas. Cerita-cerita pendek yang mengandung banyak nasihat yang tersirat. Seperti kisah pedagang Tionghoa bernama Akong.
“Nasihatnya tidak vulgar. Orang menyarikan sendiri,” tukas Syafruddin. “Sebenarnya cerpen-cerpen saya itu pun begitu. Kadang ada kawan yang suka ngobrol, suka cerita, yang nasihatnya terdengar seperti mengolok-olok, tapi kena,” sambung dia.
Jejaring Facebook pula yang memantik Syafruddin mengarang novel. Sebagian besar tulisannya dibagikan pada platform tersebut. Termasuk beberapa karyanya yang belakangan ini diterbitkan di Kaltim Post.
Seperti Digdaya, Nanang Tangguh, Awan, hingga Zulaiha. Hanya yang terbaru ini, Rambe Sindang Markuat yang belum banyak dibagikan di Facebook. “Baru 12 seri (yang dibagikan di medsos),” ujar dia. “Itu pun di KBM, yang bukan member enggak bisa ngakses juga,” tambah dia.
Syafruddin mengaku setelah diterbitkan ulang di Kaltim Post, karya-karyanya semakin banyak dicari. Beberapa orang bahkan secara khusus menghubunginya. Bahkan ada yang mengunggah foto sedang membeli bukunya di medsos.
“Orang pikir saya dapat honor dari Kaltim Post, padahal enggak. Bagi saya, karya yang terbit di Kaltim Post saja saya sudah senang. Kaltim Post dapat warna lain dalam kontennya, saya dapat nama dari situ. Hidup ini harus kolaborasi. Bukan zamannya hidup sendirian,” jelas dia.
Tulisan-tulisan Syafruddin lekat dengan latar belakang wilayah lokal Kaltim seperti Samarinda hingga Kutai Barat. Yang banyak menyajikan keindahan wisata dan kecantikan bentang alamnya. Sebagai orang yang gemar melancong menyaksikan keindahan-keindahan hingga pelosok, dia merasa berdosa bila tak mempromosikannya. Termasuk melalui tulisan.
“Dalam novel Aku Mencintaimu Shanyuan, saya berceita tentang Jantur Inar, Jantur Dora, Jantur Gemuruh, Danau Beluq, dan Danau Aco yang mempunyai legenda itu. Bahwa kedua danau itu, kalau air pasang, mereka ikut pasang juga, padahal posisinya di atas bukit. Itu belum terungkap rahasianya,” terang Syafruddin. “Kalau mau lihat daerah yang bagus itu ya Kutai Barat, khususnya dataran tinggi Tunjung,” sambung dia.
Sebagai penulis dari generasi lawas, Syafruddin sadar bahwa ada perubahan tren membaca dan pola bacaan pada anak-anak muda zaman sekarang. Perubahan mendasar itu adalah digitalisasi. Buku digital. Juga perubahan dari tekstual menjadi visual. Lalu, pergeseran dari bahasa baku menjadi bahasa gaul.
“Kita harus akui itu. Saya berada di sini, mereka di sini,” kata dia sembari menunjuk bagan yang digambarnya pada kertas putih, bahwa dia berada pada era buku fisik, tekstual, dan bahasa baku.
Namun, dia meyakini menulis itu abadi. Benar bahwa penulis harus menyesuaikan zaman. Dia pun yakin dia mampu mengikuti gaya menulis yang digandrungi anak-anak sekarang. Tapi, kata dia, itu bahasa temporer. Ada saatnya akan hilang. “Misalnya kata healing. Saya lebih menggunakan tamasya, berpiknik. Kita punya keyakinan bahwa ini jati diri kita. Termasuk dalam urusan lagu. Suatu saat orang akan mencari itu,” sebut dia.
Digitalisasi adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Sebab itu, karya-karya Syafruddin pun bisa diakses di platform maya. Diperjualbelikan secara digital. Kehadiran aneka rupa platform digital pun terbilang menguntungkan. Termasuk mengikis pelan-pelan anggapan bahwa menulis itu tak begitu menghasilkan.
Saat ini, ada banyak platform menulis berbayar. Misalnya, kata dia, di KBM banyak penulis-penulis yang digandrungi. Ada yang bisa mengumpulkan hingga Rp 36 juta saban bulannya. Setiap bulan, KBM akan merilis seratus penulis teratas atau terpopuler. Yang berada di peringkat bawah, biasanya bisa menghasilkan Rp 3-4 juta.
Pola di platform berbayar, seperti KBM, biasanya bab satu hingga tujuh bisa diakses gratis. Kemudian, bab delapan hingga sepuluh, hanya bisa diakses dengan koin perak. Koin perak bisa dikumpulkan dengan cara menyukai dan mengomentari karya penulis lain. Lalu, bab-bab berikutnya dikunci. Hanya bisa dibuka dengan koin emas yang harus dibeli melalui berbagai macam alat pembayaran.
“Bayangkan kalau kita menulis 200 bab. Bikin seperti cerita sinetron. Kalau masih banyak pembaca penasaran, ceritanya diputar-putar. Kan gampang saja itu,” kata Syafruddin.
Biasanya, satu bab dibanderol Rp 3.000. Jika 200 bab, maka akan menghasilkan Rp 600 ribu dari satu pelanggan. Dengan uang sebesar itu, pelanggan bahkan tak mendapatkan buku secara fisik. File-nya pun tak bisa di-copy atau di-capture untuk dibagikan.
Meski mengaku bisa saja mengikuti pola-pola seperti itu, Syafruddin merasa enggan. Dia merasa tak nyaman jika harus menulis hal yang “nyerempet-nyerempet”. Atau beraroma stensilan.
“Saya ini penulis punya idealisme. Yang ‘nyerempet’ itu ngeri pembacanya, banyak. Saya enggak bisa begitu, karena itu bisa dibaca siapa saja, kapan saja. Beda kalau film di bioskop, Anda tidak bisa masuk kalau tidak cukup umur, ada yang jaga. Kalau digital ‘kan enggak,” urai dia.
Syafruddin termasuk penulis yang mengikuti tren digital. Dia aktif di berbagai platform media sosial, termasuk YouTube. Pengakuannya, hanya mengikuti tren. Senang belajar. Tak berorientasi duit. “Saya menulis di Facebook, terbuka. Harusnya dikunci, masukan platform berbayar. Tapi saya berprinsip, menjadi manusia itu harus bermanfaat,” ujar dia.
“Nawaitu kita apa? Kalau cari duit, ya, kita hanya akan mendapatkan duit, yang itu hanya berguna untuk hidup kita sendiri, enggak bisa dibawa mati,” sambung dia.
Kalau diperiksa dalam cerita-cerita karyanya, Syafruddin mengaku sekitar 80 persen mengandung unsur pendidikan. “Itu yang mau saya tebarkan. Karena kalau saya berceramah seperti dai, mubalig, dengan ayat ini-itu, saya juga melihat ada banyak orang yang matanya ke khatib, pikirannya ke mana-mana,” ujar dia.
Diakui atau tidak, kata dia, di dunia ini banyak orang yang hidupnya menjadi lebih baik justru setelah nonton film. “Seluruh dunia, bangsa manapun, tak ada yang tak suka dengan cerita. Media ungkapnya saja yang berbeda. Ada film, komik, yang mengajari orang tanpa terasa,” pungkas dia. (rom/k15)