Dari puisi, lara disampaikan. Dari tiap bait, semangat melawan penindasan digelorakan. Semangat itulah yang masih dibawa hingga rambut penuh uban. Sebab, masih banyak duka dirasa masyarakat akibat ketidakadilan. Sebab, seni adalah perlawanan.
NOFFIATUL CHALIMAH, Samarinda
nofi.office@pm.me
ROEDY Haryo Widjono menjadi salah satu nama yang mungkin disebut, ketika seseorang menanyakan siapa saja sastrawan Kaltim. Namun, pria yang akrab disapa Romo Roedy itu, justru menyatakan, seharusnya bukan namanya saja yang disebut.
Sebab, kata dia, banyak sastrawan di Kaltim. Termasuk yang muda. Bukan hanya mereka yang sudah paruh baya seperti dirinya. Bagi Roedy, itu jadi autokritik bagi kalangannya. Generasi muda mestinya bisa tampil untuk menjadi nama baru sebagai sastrawan di Benua Etam.
Ketika berkata soal seniman, Roedy mengaku yang terkenal bukan tentu yang terbaik. Namun, dia mengamini menjadi sastrawan pada era kiwari, tantangannya tentu berbeda dengan dahulu. Kini, buku sastra bukan lagi barang yang menarik bagi para penerbit. Maka jangan heran, bila saat ini sastrawan menerbitkan bukunya secara indie. Sedangkan dahulu pada zaman Orde Baru, seni bisa dibredel jika tak sesuai dengan keinginan penguasa.
Tetapi, bagi dia, seni adalah bentuk perlawanan. Roedy memahami seni diambil dari kondisi masyarakat yang didera ketidakadilan. “Bagaimana masyarakat yang kesusahan karena pertambangan dan kerukan batu bara, bisa diangkat dalam sebuah seni untuk menyuarakan ketidakadilan itu,” kata dia.
Maka jangan heran, bila menemui Roedy dalam aksi-aksi demonstrasi atau melakukan pertunjukan yang menyuarakan kritik ke pemerintah. Dia membalut perlawanan dalam kata-kata yang disuarakan dengan intonasi untuk menggugah pendengarnya. Roedy akrab dengan dunia aktivis lingkungan dan masyarakat adat.
Lelaki yang menjadi staf pengajar di Sekolah Tinggi Kateketik Pastoral Katolik (SKTPK) Bina Insan Samarinda itu, memang berangkat dari keluarga seniman. Ayahnya dahulu adalah penyanyi keroncong. Sedangkan, Roedy lebih suka mengolah kata dan rasa dalam sebuah puisi dan syair.
Sastrawan kelahiran Solo, 5 Juli 1958 itu pun sempat menjadi jurnalis pada dekade 80–90-an. Dalam urusan sastra, berbagai zaman telah dia lewati. Dari zaman ketika seseorang mendapat label sastrawan ketika puisinya dimuat di majalah Horison, hingga zaman ketika memublikasikan karya hanya dengan sebuah klik.
“Tetapi, seni tidak seperti itu. Ada sejumlah kelompok teman seniman yang tidak mau memublikasikan karyanya. Meski karyanya sangat indah. Sebab, hanya dengan mereka berseni, artinya seni itu ada. Di berbagai daerah ada. Di Kaltim juga ada,” cerita suami dari Yuliana Skolastika Karnella itu.
Roedy sudah puluhan tahun di Kaltim. Dia pun, mempelajari seni dan kebudayaan setempat. Termasuk seni dan budaya masyarakat Dayak. Roedy datang ke provinsi ini tahun 1980. Saat itu, dia menjadi pekerja sosial di Gereja Keuskupan Samarinda.