Partisipasi Publik Minim di Pemindahan IKN

- Selasa, 17 Mei 2022 | 10:19 WIB
Desain Istana Negara di IKN.
Desain Istana Negara di IKN.

BALIKPAPAN-Minimnya partisipasi publik dalam rencana pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kaltim masih jadi bahasan. Beberapa kalangan mencurigai adanya agenda politik terselubung. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti menuturkan, dalam rencana pemindahan IKN, ada kecenderungan agenda politik terselubung.

Lantaran di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021, tentang Pengujian Formil UU Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945, MK sudah menggariskan bahwa partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation adalah hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan.

“Nah, apakah yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang itu, semata-mata hanya untuk menjalankan hak untuk didengar? Sebenarnya yang harus didengarkan adalah mereka yang terkena dampak. Atau mereka yang memiliki concern atau perhatian. Saya memberikan perhatian sampai sejauh mana pembentuk undang-undang itu mengutamakan atau memberikan prioritas bagi mereka yang terdampak,” katanya dalam diskusi publik secara daring “Menuju Ibu Kota Negara Baru: Peluang dan Tantangannya”, Sabtu (14/5).

Dia melanjutkan, dalam rapat dengar pendapat umum pembahasan UU IKN yang diunggah pada laman DPR maupun kanal YouTube DPR, patut dipertanyakan bahwa pihak yang diundang dalam rapat sebagai narasumber, dapat dikatakan sebagai pihak yang terdampak. Atau justru mereka adalah pihak-pihak yang memiliki perhatian atau concern. Oleh karena itu, perlu membedakan mereka yang memiliki perhatian dengan ahli dalam pembahasan UU IKN yang diminta untuk memberikan tanggapan terhadap penyusunan UU IKN itu.

“Bagi saya minimnya partisipasi publik di dalam pembahasan UU IKN seakan-akan tidak mengambil pelajaran. Pada minimnya partisipasi publik saat pembahasan UU Cipta Kerja. Jadi mengulangi hal yang sama. Dan ini buat saya membahayakan,” terangnya. Sehingga dalam pembahasan UU IKN, partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation tidak dilaksanakan oleh DPR selaku pembentuk UU. Walaupun secara garis besar, sebut dia, MK dalam putusannya, tidak memberikan kriteria ataupun standar itu. Tetapi, hal tersebut seharusnya tidak menjadi pembenaran. Bahwa pembentuk UU tidak menciptakan atau membuat standar untuk melaksanakan hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan.

“Jika mereka mau membuat standar itu, maka mereka harus mau kembali kepada teori. Jadi, bukan hal hal yang bersifat pragmatis. Misalnya, mereka mengatakan informasi bisa diakses melalui YouTube atau website. Itu enggak bisa menyatakan sudah bisa melaksanakan meaningful participation,” kritik Prof Susi.

Perempuan berkacamata ini menerangkan teori agenda politik terselubung dalam pemindahan ibu kota negara yang pernah disampaikan Vadim Rossman. Seorang profesor berkebangsaan Rusia, pengarang buku "Capital Cities: Varieties and Patterns of Development and Relocation".

Menurutnya, Vadim Rossman mengungkapkan ada tiga bentuk hidden political agenda yang mungkin terjadi dalam pemindahan ibu kota negara. Yakni mengasingkan atau memarginalisasi gerakan protes atau gerakan demo. Di mana ibu kota negara seringkali menjadi pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat dari bergejolaknya protes dari masyarakat. Kemudian homogenisasi etnis penduduk di ibu kota negara. Terakhir, memindahkan ibu kota negara ke wilayah asli penguasa. Bahkan ada sejarawan dari Inggris yang menyebutkan bahwa ibu kota negara sebagai “the power cage of protest”. Oleh karena itu, lanjut Prof Susi, pemerintah otoriter biasanya akan menggunakan pemindahan ibu kota negara sebagai taktik segregasi. Seperti yang pernah terjadi di Paris, Prancis. “Jadi, masyarakat patut mempertanyakan, mengapa sangat minim partisipasi masyarakat. Apakah ada agenda politik tersembunyi? Padahal keputusan untuk memindahkan itu haruslah mencerminkan sentimental decision of nation. Keputusan penting dari sebuah bangsa, bukan penguasa. Urusan pemindahan IKN itu bukanlah cabang kekuasaan ekslusif dari eksekutif,” tegasnya.

Jika dikaitkan dengan UUD 1945, dia menyampaikan, tidak secara spesifik menyatakan bahwa DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia. Berbeda dengan Korea Selatan dan Brasil. Yang mendudukkan ibu kota negara sebagai materi muatan konstitusi. Meskipun di Korea Selatan bukan konstitusi secara tertulis, melainkan sebagai constitutional custom. Sementara di Brasil, dimasukkan dalam amanat peraturan peralihan konstitusi Brasil tahun 1946. Sehingga, pemindahan ibu kota negara bukan merupakan keinginan presiden Brasil semata. Sehingga, baru bisa dilaksanakan pemindahannya pada 1961 dengan menggunakan anggaran luar biasa besar dan sempat menyebabkan APBN Brasil kolaps.

“Yang paling penting adalah urusan atau masalah pemindahan IKN adalah masalah bangsa. Bukan masalah cabang kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, menjadi sangat penting, bahwa keputusan itu adalah keputusan yang disetujui oleh bangsa secara keseluruhan,” jelas dia.

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo juga sempat meminta izin untuk memindahkan ibu kota negara ke Kaltim. Dari kacamata Prof Susi, hal itu, bisa saja disimpulkan, bahwa pemindahan IKN bukanlah kekuasaan eksklusif dari cabang kekuasaan eksekutif semata. Seharusnya dibicarakan dari jauh hari sebelumnya. “Mereka mengklaim dari tahun 2017 sudah ada kajian-kajian. Tetapi, masyarakat tidak pernah menerima atau membaca kajian ini secara komprehensif,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, M Rizal Taufiqurrahman selaku peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF menambahkan, pihaknya sempat mendatangi Bappenas pada 2019 lalu untuk meminta kajian pemindahan IKN. Akan tetapi, kajian tersebut tidak diberikan dengan alasan masih dilakukan penyusunan dan confidential atau masih dirahasiakan. Sehingga, INDEF melakukan kajian sendiri. Dengan mengumpulkan informasi mengenai metode penyusunan kajian tersebut, yang disebut menggunakan metode tertentu. “Bappenas kaget, dengan metode yang sama tapi hasilnya berbeda. Makanya INDEF sempat diundang, untuk menguji hasil kajian itu,” kata dia.

Usai melakukan pengujian hasil kajian INDEF di hadapan Bappenas, pihaknya kembali mencoba meminta hasil kajian pemindahan IKN yang telah dibuat Bappenas. Terutama hasil kajian pada aspek ekonomi sebagai dampak pemindahan IKN ke Kaltim. Akan tetapi, permintaan tersebut masih belum dipenuhi oleh Bappenas hingga saat ini. “Kami minta masih enggak dikasih. Karena alasannya ini masih confidential (rahasia) dan masih dikaji. Itu di tahun 2019. Lalu, bagaimana mau uji publik, kalau begitu?  Padahal kami juga pernah mendapat informasi, bahwa sebenarnya sejak tahun 2016, sudah ada kajian paralel untuk pemindahan IKN. Dengan demikian, pembahasannya terkesan sembunyi-sembunyi,” tutup Rizal. (riz/k15)

 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X