KIEV – Upaya untuk bisa membantu Ukraina secara finansial di tengah krisis geopolitik terus bermunculan. Salah satunya, wacana penjualan aset sitaan dari Rusia yang kembali muncul. Hal tersebut baru-baru ini dilontarkan oleh Presiden Dewan Eropa Charles Michel.
Dalam wawancaranya dengan Interfax-Ukraine, salah satu pentolan Uni Eropa itu mengatakan bahwa langkah untuk menjual aset yang dimiliki oligarki Rusia sangat masuk akal. Pasalnya, dana yang dibutuhkan Ukraina untuk bisa bertahan dari serangan Rusia tak sedikit. Apalagi kebutuhan dana rehabilitasi jika perang berakhir.
’’Saya percaya, langkah yang dilakukan tak hanya untuk membekukan aset. Tapi, untuk menyita dan memanfaatkannya untuk membangun kembali Ukraina,’’ ungkapnya seperti yang dilansir oleh Agence France-Presse.
Usul tersebut datang setelah otoritas Amerika Serikat dan Uni Eropa terus memburu aset dari pengusaha Rusia yang diberi sanksi ekonomi. Mulai dari kapal yacht, rumah, rekening bank, helikopter, hingga karya seni sudah disita oleh dua pihak tersebut. UE sendiri sudah melaporkan aset yang dikumpulkan sudah mencapai 30 miliar euro (Rp 457 triliun).
Namun, angka tersebut masih sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan Ukraina. Berdasar estimasi pemerintah Ukraina, dana yang dibutuhkan untuk membangun kembali pasca peperangan mencapai 565 miliar euro (Rp 8.610 triliun).
Wacana tersebut juga sebenarnya sudah didukung oleh Presiden AS Joe Biden. Dia mengatakan, menjual aset bisa membantu Ukraina sembuh. Namun, American Civil Liberties Union memperingatkan bahwa langkah itu bisa bermasalah secara hukum. Sebab, oligarki seharusnya punya hak menyanggah sanksi dari pemerintah AS. ’’Prosesnya jelas tak akan mudah,’’ lanjut Michel.
Di sisi lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky baru saja meluncurkan platform crowdfunding untuk membantu peperangan di Ukraina. Ini bukan kali pertama Ukraina mengumpulkan dana global. Sebelumnya, Zelensky bekerja sama dengan crypto-firms FTX and Everstake untuk menggalang dana global pada Maret lalu. Dalam beberapa hari, mereka sudah mendapatkan penjualan kripto sebanyak USD 60 juta (Rp 866 miliar) dan sumbangan sebanyak USD 10 juta (Rp 144 miliar).
Perkiraan kebutuhan dana bantuan Ukraina bakal terus meningkat. Apalagi, pertempuran antar dua negara itu belum menemui titik terang. Contoh saja kondisi di Mariupol, kota pelabuhan Ukraina. Serangan dari Rusia masih berlangsung. Ukraina mengatakan bahwa Rusia melanggar perjanjian untuk keamanan evakuasi warga sipil melalui koridor khusus. Namun, Rusia bersikeras bahwa mereka menjaga agar serangan tak menyentuh koridor yang sudah disepakati.
Bahkan, Jubir Kremlin Dmitry Peskov menuduh balik AS dan Uni Eropa menjadi penyebab runyamnya situasi di Ukraina. ’’Dengan bantuan intelijen dan senjata, justru AS, Inggris, dan NATO menjadi penyebab operasi militer ini tak kunjung usai. Tapi, jangan sangka bahwa ini akan membuat kami menyerah,’’ paparnya.
Saat ini, Rusia berupaya untuk terus menggempur Ukraina. Salah satu strateginya adalah mengincar titik yang berpotensi sebagai lokasi penyerahan bantuan militer. Selasa lalu, serangan udara Rusia mengincar enam stasiun kereta. Rudal Rusia juga menyerang hanggar di Odessa yang menyimpan drone Bayraktar TB2 milik Turki.
Kekejaman Rusia juga diungkap oleh Pramila Patten, perwakilan PBB untuk kekerasan seksual dalam peperangan. Dia mendapatkan laporan bahwa tentara Rusia melakukan kejahatan seksual bahkan kepada pria dan bocah. ’’Saya menerima kabar, tapi belum bisa melakukan verifikasi,’’ jelasnya. (bil/c17/bay)