Soroti Penerapan Pasal hingga Berulangnya Korupsi di BPK

- Sabtu, 30 April 2022 | 11:28 WIB
Bupati Bogor Ade Yasin saat di KPK.
Bupati Bogor Ade Yasin saat di KPK.

JAKARTA - Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin resmi berstatus tersangka dini hari (28/4). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyangka Ade Yasin sebagai pemberi suap pengurusan laporan keuangan Pemkab Bogor tahun anggaran 2021. KPK juga menetapkan tujuh orang lain sebagai tersangka dalam kasus yang sama.

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan kasus itu berawal ketika Ade Yasin selaku bupati berkeinginan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk tahun anggaran 2021 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Jawa Barat. Keinginan itu selanjutnya direspon dengan upaya pengkondisian susuan tim audit interim (pendahuluan). 

Kemudian pada Januari lalu terjadi kesepakatan pemberian uang antara pegawai BPK perwakilan Jabar Hendra Nur Rahmatullah Karwita dengan dua pejabat Pemkab Bogor. Yakni Maulana Adam (Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang) dan Ihsan Ayatullah (Kasubid Kas Daerah Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah). 

Sebagai realisasi dari kesepakatan itu, Maulana dan Ihsan diduga memberikan uang sebesar Rp 100 juta dalam bentuk tunai kepada Anthon Merdiansyah, kasub auditorat Jabar III yang juga menjabat sebagai pengendali teknis di BPK perwakilan Jabar. "ATM (Anthon) kemudian mengkondisikan susunan tim sesuai dengan permintaan IA (Ihsan) dimana nantinya objek audit hanya untuk SKPD tertentu," kata Firli dalam konferensi pers. 

Proses audit lantas dilaksanakan mulai Februari hingga April dengan hasil beberapa rekomendasi. Diantaranya tindak lanjut rekomendasi tahun 2020 sudah dilaksanakan dan program audit laporan keuangan tidak menyentuh area yang mempengaruhi opini. Padahal, temuan fakta tim audit menyebutkan adanya pekerjaan proyek peningkatan jalan Kandang Roda-Pakan Sari senilai Rp 94,6 miliar yang tidak sesuai kontrak.

 Firli menambahkan, selama proses audit tersebut diduga telah terjadi beberapa kali pemberian uang dari Ade Yasin melalui Ihsan dan Maulana kepada tim pemeriksa. Diantaranya dalam bentuk uang mingguan sebesar Rp 10 juta. "Sehingga total selama pemeriksaan telah diberikan sekitar sejumlah Rp 1,9 miliar," terang Firli.

Dari perbuatan itu, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka pemberi suap. Yakni Ade Yasin, Ihsan, Maulana, dan Rizki Taufik (pejabat pembuat komitmen Dinas PUPR). Sementara untuk penerima suap, KPK menetapkan empat orang pegawai BPK perwakilan Jabar. Selain Anthon dan Hendra, KPK juga menetapkan Arko Mulawan (ketua tim audit interim Bogor) dan Gerri Ginajar Trie Rahmatullah (pemeriksa).

Kepada Ade Yasin dkk, KPK menerapkan pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sementara tersangka penerima suap dijerat pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Usai menjalani pemeriksaan, Ade Yasin mengklaim tidak tahu-menahu tentang transaksi yang dibongkar KPK. Menurutnya pemberian uang untuk pengkondisian opini WTP tersebut adalah inisiatif anak buahnya. "Saya dipaksa untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan anak buah saya, tapi sebagai pimpinan saya harus siap bertanggung jawab," kata politisi perempuan yang menjadi ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jabar itu.

Di sisi lain, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyoroti penggunaan pasal 5 dan pasal 13 yang diterapkan KPK pada pemberi suap. Dia menyebut, penerapan pasal itu cenderung tidak memberi efek jera lantaran hukuman maksimal yang rendah. "KPK harus mengembangkan kasus ini agar pelaku pemberi suap juga mendapatkan hukuman yang setimpal, apalagi pelakunya adalah kepala daerah," ujarnya

Di sisi lain, ICW juga menyoroti masih terjadinya korupsi yang melibatkan internal BPK. ICW menilai instrumen pengawasan internal BPK gagal menjalankan fungsinya. Sehingga masih terjadi korupsi yang melibatkan tim pemeriksa atau auditor. "Ini menunjukkan BPK tidak pernah serius membenahi instansinya. Padahal BPK adalah salah satu lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi," ujar Kurnia.

Sementara itu, meski sebatas adminstratif, penilaian WTP dari BPK kerap menjadi target kepala daerah. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman mengatakan, WTP memberikan sejumlah keuntungan bagi pemerintah daerah. "Untuk yang dapat WTP, nanti dapat Dana Insentif Daerah (DID)," ujarnya.

Dalam pengalokasian DID bagi daerah, WTP yang didapat dari BPK menjadi salah satu pertimbangan. Selain itu, ada juga pertimbangan lain seperti penetapan APBD tepat waktu dan keberhasilan menaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas rata-rata nasional. "Itu diatur dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan)," kata Herman.

Dalam PMK sendiri, reward yang didapat daerah peraih opini WTP tidak disebutkan nilai pastinya. Namun, PMK mematok nilai minimum diangka Rp 2 miliar. Sementara nilai realisasi bisa lebih besar bergantung pada situasi Keuangan negara. Selain keuntungan finansial, Herman menyebut "insentif" lain yang didapat kepala daerah adalah citra positif. Sebab dianggap dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara secara tertib. (tyo/far)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X