Kelapa Sawit dan Turunannya Dilarang Diekspor, Petani Sawit “Berduka”

- Rabu, 27 April 2022 | 21:56 WIB

Pengumuman larangan ekspor kelapa sawit beserta turunannya yang akan diberlakukan 28 April 2022 membuat harga tandan buah sawit (TBS) di Kaltim terjun bebas. Bahkan banyak perusahaan yang sudah menurunkan harga beli sebelum 28 April. Kondisi ini tentu sangat merugikan petani.

SAMARINDA - Para petani sawit berharap pemerintah daerah menindak tegas para perusahaan yang membeli harga TBS kelapa sawit di bawah standar yang telah ditetapkan setiap bulan. Diketahui, harga TBS ditetapkan pada Maret sebesar Rp 3.452 per kilogram. Namun, setelah pengumuman larangan ekspor harganya langsung anjlok menjadi 1.900-2.000 per kilogram.

Padahal, harga-harga yang sudah ditetapkan per bulan merupakan standar bagi para petani yang sudah bermitra dengan perusahaan pemilik pabrik kelapa sawit di Kaltim, khususnya kebun plasma. Seharusnya, ini menjadi harga acuan oleh petani dan perusahaan.

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kutai Kartanegara Daru Widiyatmoko mengatakan, dampak larangan ekspor ini benar-benar langsung memukul para petani kelapa sawit di Kaltim. Larangan ini seharusnya berlaku 28 April mendatang, namun banyak perusahaan yang sudah menurunkan harga beli pada petani.

“Aturan tersebut akan diberlakukan pada 28 April, namun harga buah sawit sudah menurun bahkan satu hari setelah pengumuman yang dilakukan Pak Presiden (Joko Widodo, Red),” tuturnya Selasa (26/4).

Dia menjelaskan, perusahaan kelapa sawit di Kaltim sudah banyak yang mendahului aturan tersebut. Banyak dari perusahaan yang langsung menurunkan harga beli pada petani. Akibatnya, saat ini petani sawit “berduka”. Apalagi menjelang Idulfitri, banyak dari petani mata pencariannya hanya ini, namun diberikan harga semurah-murahnya akhirnya tidak mendapat keuntungan untuk dinikmati di hari besar.

“Saat ini petani sawit berduka, karena tidak bisa menjual. Mau dijual tapi harganya sudah anjlok sekali,” katanya. Menurutnya, penurunan harga TBS bukan hanya pada petani swadaya namun juga petani yang bermitra dengan perusahaan atau plasma. “Seharusnya, tidak boleh seperti ini sebab harga yang ditetapkan merupakan acuan yang harus diikuti perusahaan. Tidak boleh asal menurunkan,” keluhnya.

Pihaknya atas nama petani kelapa sawit meminta pemerintah memberikan sikap tegas kepada para perusahaan kelapa sawit yang menurunkan harga TBS. Baik yang swadaya maupun yang bermitra.

“Kami para petani meminta ketegasan pemerintah, jangan hanya mengimbau saja. Namun, memanggil perusahaan yang menurunkan harga di bawah ketetapan yang sudah dilakukan setiap bulan untuk harga TBS tersebut. Sebab, seharusnya ada sanksi bagi perusahaan yang menurunkan harga-harga TBS di bawah ketetapan harga,” terang Daru.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR Yulian Gunhar meminta para petani untuk lebih bersabar. Dia memprediksi kebijakan larangan ekspor CPO dan minyak goreng tidak bertahan lama. Hal itu berkaca dengan kebijakan larangan batu bara beberapa waktu lalu.

Dengan demikian, Yulian Gunhar meminta para petani sawit tidak usah terlalu gundah terhadap kebijakan pemerintah. Berkaca dengan kebijakan larangan ekspor batu bara yang hanya berlangsung 12 hari, maka kebijakan larangan ekspor CPO dan minyak goreng bisa berpotensi sama.

“Ketika pemerintah melarang ekspor CPO dan minyak goreng terhitung 28 April 2022 sampai waktu yang tidak ditentukan, pertanyaannya apakah mungkin Indonesia akan melakukan larangan ekspor CPO dan minyak goreng ini untuk jangka waktu yang lama?” kata Gunhar seperti dikutip dari JawaPos.com, Selasa (26/4).

Gunhar sangat meyakini bahwa CPO dan minyak goreng saat ini masih menjadi sumber komoditas penyumbang devisa terbesar. Bahkan, industri sawit telah menjadi andalan dalam neraca perdagangan Indonesia. Dengan kondisi seperti itu, larangan ekspor CPO dan minyak goreng tidak akan bertahan lama. Sama seperti kebijakan larangan ekspor batu bara yang juga menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia.

Dalam analisis Gunhar, prediksi tidak akan bertahan lamanya kebijakan pelarangan ekspor itu berdasarkan alasan stabilitas neraca perdagangan Indonesia. Apalagi kini sudah ada gejolak di kalangan petani sawit. Gejolak itu diperparah pula dengan mahalnya harga pupuk.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB

2024 Konsumsi Minyak Sawit Diprediksi Meningkat

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:21 WIB
X