Tak Ada Itikad Selamatkan Korban, Kolonel Priyanto Dituntut Hukuman Penjara Seumur Hidup

- Sabtu, 23 April 2022 | 11:43 WIB
Kolonel Infanteri Priyanto
Kolonel Infanteri Priyanto

JAKARTA - Oditur Militer Tinggi II Jakarta telah membacakan tuntutan atas terdakwa Kolonel Infanteri Priyanto. Perwira menengah TNI AD dengan tiga kembang di pundak itu dituntut hukuman seumur hidup. Tuntutan itu ditujukan kepada Priyanto lantaran telah melakukan pembunuhan berencana, penculikan, dan menyembunyikan jenazah. Itu terjadi setelah insiden kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Handi Saputra dan Salsabila pada akhir tahun lalu. 

Kecelakaan terjadi di bilangan Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Handi dan Salsabila yang berboncengan terlibat kecelakaan dengan kendaraan yang ditumpangi oleh Priyanto. Sayang, bukannya menyelamatkan para korban, mantan kepala seksi intelijen Korem 133/Nani Wartabone itu malah membuang Handi dan Salsabila di Sungai Serayu, Jawa Tengah. Akibatnya Handi yang masih hidup harus kehilangan nyawa. 

Dalam sidang kemarin (21/4), Oditur Militer Tinggi II Jakarta Kolonel Sus Wirdel Boy meminta majelis hakim yang mengadili perkara tersebut memenuhi tuntutan mereka. "Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah," ungkap Wirdel. Tidak hanya itu, melalui tuntutannya dia meminta majelis hakim menghukum Priyanto sesuai tuntutan. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup," imbuhnya. 

Hukuman tersebut belum termasuk dengan tambahan sanksi dipecat dari TNI AD. Tuntutan tersebut disampaikan setelah terdakwa menjalani persidangan. Dalam persidangan itu, sejumlah fakta terungkap. Termasuk soal Handi yang dibuang ke Sungai Serayu dalam keadaan hidup. Alhasil, Priyanto dijerat pasal berlapis. Yakni pasal 340 KUHP, pasal 338 KUHP, pasal 328 KUHP, pasal 333 KUHP, serta pasal 181 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. 

Saat memutuskan membuang Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu, Priyanto dibantu oleh dua anak buahnya. Yakni Koptu Ahmad Sholeh dan Kopda Andreas Dwi Atmoko. Keduanya sempat meminta Priyanto untuk mengurungkan niat membuang Handi dan Salsabila. Namun, permintaan itu ditolak. Keduanya tidak berkutik dan menuruti perintah Priyanto. Hal itu pula yang memberatkan hukuman sang perwira. "Seharusnya sebagai perwira dia (Priyanto, Red) mencegah perbuatan itu terjadi," kata Wirdel. 

Namun fakta berkata lain. Priyanto justru menjadi otak di balik pembuangan Handi dan Salasabila. Padahal dia punya cukup waktu untuk membatalkan niat tersebut. Kemudian membawa Handi dan Salsabila ke fasilitas kesehatan terdekat. Menurut Wirdel, ada jeda waktu sekitar lima setengah jam sebelum para pelaku akhirnya memutuskan membuang korban. "Tapi, yang dilakukan justru membuang korban yang salah satu korbannya masih hidup," beber dia. Meski sempat berkilah dan menyebut Handi sudah meninggal dunia, perbuatan Priyanto tetap tidak bisa dibenarkan. 

Wirdel menegaskan bahwa yang berhak memutuskan seseorang telah meninggal dunia atau tidak dari peristiwa kecelakaan adalah tenaga medis. Di luar itu, hanya punya kewajiban membantu korban kecelakaan agar secepatnya mendapat penanganan medis. Selain itu, hasil autopsi jenazah Handi menguatkan bahwa korban dibuang ke Sungai Serayu dalam keadaan hidup. Menurut dia, semua fakta itu jelas menunjukkan bahwa tidak ada itikad dari Priyanto untuk menyelamatkan korban. 

Fakta-fakta itu pula yang membuat Oditur Militer Tinggi II Jakarta menuntut Priyanto dengan hukuman penjara seumur hidup. "Tuntutan yang kami buat dasarnya adalah fakta yang terungkap di persidangan," jelasnya. Karena itu, meski ada dorongan agar Priyanto dituntut hukuman mati, pihaknya menuntut terdakwa dengan hukuman penjara seumur hidup. Dalam sidang berikutnya, Priyanto akan membacakan nota pembelaan atau pledoi. Rencananya sidang akan dilaksanakan 10 Mei mendatang. (syn/)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X