Godaan Masa Jabatan

- Rabu, 23 Maret 2022 | 10:28 WIB

Herdiansyah Hamzah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS)

Untuk yang kesekian kalinya, isu penundaan Pemilu 2024, kembali bergulir. Dan seperti biasa, isu ini selalu terlontar dari para elit politik, tidak berangkat dari kegelisihan publik secara luas. Adalah wakil ketua DPR sekaligus Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, yang kembali mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dengan pertimbangan ekonomi. Menurut Muhaimin, momentum perbaikan ekonomi pasca dihajar pandemi Covid-19, tidak boleh terganggu dengan adanya pesta politik.

Sebelum Muhaimin, ide penundaan Pemilu 2024 juga sempat diusulkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia. Menurut Bahlil, kalangan pengusaha meminta Pemilu 2024 diundur dengan alasan pemulihan ekonomi.

Lantas apa motif dan kepentingan dari isu penundaan Pemilu 2024 ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk perpanjangan masa jabatan Presiden. Sepertinya para elit politik yang berada dalam lingkar kekuasaan, tidak pernah berhenti melakukan segala upaya agar perpanjangan masa jabatan Presiden ini dapat mereka wujudkan.

Karena itu, kuat dugaan jika mereka sedang memainkan strategi “testing the water” untuk mengetahui tingkat penerimaan publik, sebelum isu perpanjangan masa jabatan ini benar-benar dieksekusi. Jika respon publik terhadap isu ini lemah, maka bukan tidak mungkin isu perpanjangan masa jabatan Presiden ini, benar-benar akan didesakkan dengan segala cara. Bahkan dengan cara yang jauh dari nalar sehat kita sekalipun.

Penundaan Pemilu

Isu penundaan Pemilu 2024, jelas adalah sesat pikir yang tidak memiliki argumentasi yang memadai. Setidaknya terdapat 4 (empat) alasan untuk mematahkan gagasan penundaan pemilu 2024 ini. Pertama, penundaan Pemilu bertentangan dengan asas periodik, dimana penyelenggaran Pemilu seharusnya dilaksanakan secara reguler dalam waktu tertentu. Di Indonesia, masa jabatan penyelenggara Negara, termasuk Presiden, adalah 5 tahun. Periodesasi 5 tahunan ini  tidak boleh hanya dipandang dari dimensi waktu semata, tetapi juga harus diposisikan sebagai asas yang menjadi landasan pengaturan pembatasan masa jabatan. Oleh karenanya, penundaan Pemilu jelas tidak dimungkinkan, kecuali dalam kondisi darurat.

Kedua, aspek regulasi. Aspek ini sekaligus memberikan penjelasan mengenai apa saja yang dikualifikasi sebagai kondisi darurat, sebagai pengecualian penundaan Pemilu. Dalam ketentuan Pasal 432 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan 4 (empat) kondisi yang dapat menunda pelaksanaan Pemilu, yakni kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Ketiga, alasan konstitusional. Dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, disebutkan bahwa, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Jika dibaca secara gramatikal, artinya Pemilu tidak boleh dilaksanakan melewati jangka waktu 5 tahun.

Keempat, alasan penundaan pemilu karena ekonomi, “dibatalkan” sendiri oleh Pemerintah. Dulu, Pemerintah bersikukuh untuk tetap menggelar Pilkada serentak 2020 kendatipun situasi pandemi Covid-19 yang tidak kunjung melandai. Salah satu alasan Pemerintah Ketika itu adalah pertimbangan stimulus ekonomi sekaligus sebagai momentum pengendalian pandemi Covid-19. Sekarang, dengan alasan yang sama, Pemilu 2024 justru diusulkan untuk ditunda. Jika dulu alasan Pilkada serentak digelar adalah soal stimulus ekonomi, lantas kenapa untuk Pemilu 2024 justru tidak menggunakan alasan yang sama? Logikanya, jika pilkada serentak saja memberikan dampak stimulus ekonomi, apalagi jika momentumnya adalah Pemilu. Paradoks bukan?

Tiga Periode

Selain isu penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan juga berusaha masuk melalui pintu usulan amandemen konstitusi, khususnya menyangkut masa jabatan Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 UUD 1945. Dalam pasal a quo disebutkan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Pasal ini tentu saja tidak bisa ditafsirkan lain, selain masa jabatan Presiden yang maksimal hanya 2 periode. Jangan sampai elit politik kita mengalami gejala “hilang ingatan massal” yang tiba-tiba lupa dengan hal ihwal pembatasan 2 periode masa jabatan Presiden ini. Setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mendasar, mengapa ketentuan 2 periode ini tetap harus kita pertahankan.

Pertama, suasana kebatinan rakyat Indonesia saat reformasi 1998. Di sana bersemayam kehendak kolektif bangsa Indonesia untuk keluar dari masa otoritarianisme orde baru Suharto. Suasana ini yang mendorong pembatasan masa jabatan dengan dikeluarkannya TAP MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yang kemudian diadopsi ke dalam amandemen Pasal 7 UUD 1945. Kedua, jika kita lacak memorie van toelichting atau risalah perdebatan amandemen Pasal 7 UUD 1945, tidak ada satupun dari anggota Panitia Ad Hoc Badan pekerja MPR yang tidak setuju dengan pembatasan 2 periode ini, termasuk Fraksi Partai Golkar dan Fraksi TNI/Polri sendiri yang dicap sebagai alat politik orde baru.

Ketiga, jika kita belajar dari Amerika Serikat, 2 periode masa jabatan presiden itu berawal dari penolakan Presiden pertama sekaligus pendiri Amerika, George Washington, untuk memegang jabatan yang ketiga kalinya. Alasannya sederhana, jika Presiden memang masa jabatan dengan waktu yang Panjang, maka itu tidak ada bedanya dengan sistem kerajaan. Dasar pemikiran revolusi Amerika memilih republik adalah penolakan terhadap sistem kerajaan ini. Hal ini kemudian menjadi konsensus bagi Presiden Amerika berikutnya, hingga akhirnya diterobos oleh Franklin D. Rosevelt pada tahun 1941. Ini pulalah yang mendorong amandemen konstitusi Amerika yang membatasi masa jabatan 2 periode, dan mulai berlaku pada tahun 1952. Ketiga alasan ini menegaskan bahwa usulan 3 periode adalah diskursus yang jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi kita (constitutional value), dan untuk itu harus kita tolak! (**)

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X