Buku sejarah di sekolah menulis kisah kerajaan tertua yang ada Muara Kaman. Tetapi, kisah bagaimana kehidupan warga dengan sisa kejayaan kerajaan, juga menarik diceritakan. Apalagi, peninggalan sudah lebih dari seribu tahun.
NOFIYATUL CHALIMAH, Tenggarong
[email protected]
SEPULANG sekolah, Buyung Marajo langsung melangkahkan kakinya ke tepi sungai. Di sana, sudah banyak kawan. Ada juga paman tetangganya asyik menggali. Ada juga yang menusuk-nusuk tanah dengan besi panjang. Buyung tak mau ketinggalan. Dia yang masih duduk di bangku SMP, juga asyik mencari. Logam-logam seperti koin dia incar. Rencananya, mau dia jadikan gelang untuk meningkatkan rasa percaya dirinya.
"Waktu itu saya SMP sekitar tahun 90-an. Semua warga sibuk mencari harta karun," kenang Buyung. Harta karun yang dicari warga itu, disebut-sebut sebagai harta karun peninggalan kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan yang dahulu disebut berdiri di Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Buyung yang saat itu merupakan warga Desa Muara Kaman Ulu, jadi saksi dan pelaku peristiwa pencarian harta karun di desanya.
Beberapa versi menyebut awal mula pencarian harta karun pada saat itu. Ada yang berkata mendapat semacam "mimpi" lalu menggali, ada pula yang dikatakan menemukan patung logam secara tak sengaja di tepi sungai.
Namun, yang jelas hasil pencarian harta karun saat itu banyak sekali. Warga pun mencari siang-malam. "Waktu itu seperti pasar malam. Padahal, isinya orang cari harta karun," ucap Arsyil bersemangat memulai kenangannya. Arsyil termasuk yang mencari harta karun saat itu. Lelaki yang kini jadi Ketua Lembaga Adat Kecamatan Muara Kaman menuturkan, dahulu, hasil pencarian warga di Muara Kaman sangat banyak. Bisa bertruk-truk barang-barang hasil galian. "Tahun 95, 96, 97-an banyak harta karun keramik dijual. Juga ada yang dapat patung emas motif India. Ada juga patung dari logam kuningan dan perunggu. Kalau keramik, ada macam-macam. Misalnya kayak piring tajau," papar Arsyil.
Saat itu, penduduk menjual hasil penemuan mereka ke pengusaha dari Balikpapan yang sudah rutin membeli. Harga patung pun tentunya jauh lebih mahal dibandingkan keramik-keramik. "Waktu itu, tahun 95 (1995) patung perunggu bisa beli truk," sambungnya. Saat itu, orang mencari pakai tusuk besi. Apakah terasa besi menusuk keramik atau tidak. Jika terasa ada, digali. Arsyil juga mengingat kondisi ekonomi masyarakat kurang baik. Sebab, hasil tangkapan ikan dan pertanian yang jadi mata pencarian mereka, tak sesuai harapan. Sehingga, mendorong warga banyak memilih mencari peninggalan kerajaan saja.
Di sisi lain, tak hanya di sekitar Muara Kaman Ulu saja hasilnya didapat. Arsyil mengatakan, bukit atau yang biasa disebut warga setempat Gunung Benua Lawas dan Gunung Martapura yang berada di seberang desa, juga banyak barang yang ditemukan.
"Di rumah saya, masih ada saya simpan keramik sisa pencarian. Ada juga yang saya beli dari warga," tuturnya. Desa Muara Kaman Ulu, memang sebenarnya jadi lokasi pusat pemerintahan Kerajaan Martapura yang didirikan Kundungga. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada abad ke 3-4 Masehi ini, peninggalannya masih ada, meski telah melewati lebih dari seribu tahun lamanya. Di lokasi ini terdapat batu yang disebut warga sebagai lesong. Lesong menjadi saksi bisu sejarah berabad-abad silam. Lesong pun ada di kawasan situs yang diberi pelang nama Situs Kerajaan Kutai Mulawarman Ing Martadipura oleh Pemkab Kutai Kartanegara. "Kata orang kampung, ini lesong batu. Kalau kata ahli, ini batu yupa yang belum ditulis. Kami bilang ini induk yupa. Anaknya ya tujuh yupa itu. Cerita orangtua kami, zaman Belanda dulu, tahun 1930-an, lesong mau dibawa ke Tenggarong. Tapi, enggak bisa. Pas mau dinaikkan kapal kapalnya miring. Jadi, dia (lesong) di sini terus," papar Arsyil.
Tidak sembarangan orang bisa merawat lesong. Sabran adalah warga pemilik garis keturunan yang merawat lesong batu. Nantinya, yang melanjutkan estafet merawat ini juga dari pemilik garis keturunan yang sama dengannya. "Dibersihkan begitu. Tidak rumit," jawab Sabran saat ditanya bagaimana perawatan batu ini. Situs ini kerap didatangi warga yang tak hanya ingin berwisata sejarah, tetapi juga wisata religi. Umat Hindu biasanya kerap berziarah. Mengingat, kerajaan yang ada di tempat ini dahulu adalah kerajaan Hindu.
Salah satu peziarah adalah Jani, warga Desa Kerta Buana, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara.
Dia perlu waktu sekitar 4 jam karena harus memutar ke Samarinda. Dahulu, dia bisa lebih cepat langsung darat dari desanya ke Muara Kaman. Tetapi, akses jalan sangat buruk.
"Ini tirtayatra. Terakhir ke sini 2013, kami rombongan sekampung," kata dia. Untuk diketahui, tirtayatra adalah niat tulus untuk mengunjungi tempat-tempat suci atau tempat bersejarah dan tempat-tempat lain yang dikeramatkan. Tirtayatra bertujuan melihat dari dekat tempat bersejarah untuk menyaksikan secara nyata tempat-tempat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan agama Hindu, agar dapat mempertebal Panca Sradha (lima keyakinan) dan kebenaran terhadap sejarah perkembangan ajaran Hindu
Sementara itu, Kepala Desa Muara Kaman Ulu Hendra mengatakan, desanya memiliki potensi besar di sektor wisata. Tetapi, sayangnya belum didukung infrastruktur yang memadai. Akses yang bisa full darat masih jelek. Pun begitu dengan akses yang perlu menyeberang sungai, juga belum mulus. "Potensial banget buat wisata ke sini. Dari umat Hindu mau bantu bangun kembangkan, desa juga mau," sambungnya. Dia pun berharap bisa didukung untuk pengembangan wisata di desanya. Apalagi bisa meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Mengingat, potensi wisata sejarah di sini tidak hanya situs kerajaan. Tetapi, juga sosok pahlawan Muso Salim. "Juga potensi sungainya. Untuk wisata memancing bagi masyarakat dari luar juga bagus sekali," pungkasnya. (riz/k15)