Korupsi Adalah Korupsi

- Kamis, 10 Maret 2022 | 14:16 WIB

Lisa Aprilia Gusreyna
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

 

Korupsi yang jumlahnya di bawah Rp 50.000.000 akan ditindak secara administratif, yaitu cukup dengan mengembalikan kepada negara. Alasannya, karena jumlah itu termasuk korupsi ringan (petty corruption).

Dua pertanyaan awal saya muncul: apa dasarnya untuk menentukan jumlah Rp 50 juta dan mengapa tidak 51 atau 48 juta? Dan dari mana dasarnya untuk menyimpulkan bahwa jumlah Rp 50 juta ke bawah adalah korupsi ringan? Yang sedang dan berat berapa?

Semakin membuat heran pula, bahwa kesesatan berlogika dan berpikir ini justru dibela (oleh pengamat hukum) dengan dalil perlunya penegakan hukum tindak pidana korupsi yang progresif, termasuk yang secara serampangan menyebut keadilan restoratif.

Korupsi di Indonesia ini telah dinyatakan sebagai tindak pidana. Bahkan dalam terminologi hukum, korupsi bukan hanya tindak pidana biasa melainkan tindak pidana khusus yang mensyaratkan baik dari sisi prosedur penanganan dan jenis hukuman harus lebih berat dari tindak pidana biasa.

Tetapi pembedaan atas karakter tindak pidana ini adalah tataran paling rendah kalau kita ingin melihat korupsi sebagai sebuah kejahatan (crime). Korupsi pada dirinya sendiri sebagai sebuah kejahatan tidak boleh dipandang sebagai persoalan hukum. Setiap orang yang melakukan korupsi telah secara sadar melakukan pencurian dan penggarongan uang publik yang sejatinya digunakan untuk kepentingan publik. Secara kriminologis, para pelaku korupsi telah menjadi penjahat sejak pikiran mereka untuk berbuat korup sudah muncul.

Dalam kacamata positivisme hukum, korupsi dihukum karena dia ilegal. Karakter ilegalitas tindak pidana korupsi itu adalah dengan pemberian sistem hukum sendiri. Artinya, justru karena sistem hukum memang sudah mendefinisikan korupsi sebagai ilegal maka jika dilakukan artinya pelaku telah melanggar hukum dan dengan demikian pelaku itu harus dihukum. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah ilegalitas korupsi itu sendiri yang membuatnya menjadi perbuatan yang memang seharusnya dilarang?

Jika itu pertanyaannya, aspek moral individu berperan penting. Pertama, ketika seseorang dengan pongah dan secara sadar mengambil apa yang tidak menjadi haknya atau melakukan penyelewengan atas jabatannya demi memperkaya diri dan kelompoknya, juga sebenarnya menyadari bahwasanya apa yang dilakukannya salah, artinya itu bukan soal pelanggaran hukum semata. Ruang moral dalam diri seseorang penjahat sekalipun akan gelisah.

Kondisi itulah saat di mana kesadaran moral individu memahami betul apa yang sebenarnya jahat (dan dengan begitu jangan dilakukan) dan tuntutan moral apa yang seharusnya dilakukan (human qua human). Korupsi adalah tindakan immoral, di mana setiap individu memahami betul itu sebagai sebuah kejahatan yang seharusnya tidak dilakukan (what should not do).
Kedua, pertanyaan lanjutannya kemudian, meminjam apa yang dituliskan B Herry Priyono (2018), korupsi ilegal karena imoral atau imoral karena ilegal? Pertanyaan ini sangat fundamental untuk menjawab segala macam dalil positivisme hukum (pidana) termasuk pendekatan untung-rugi secara ekonomi (cost-benefit analysis) dalam menangani korupsi.

Herry menyajikan contoh yang sangat menarik. Sebelum tahun 1977, sama seperti di Jerman sampai tahun 1999, segala penyuapan oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk memenangi kontrak bisnis di negara lain tidak dihukum sebagai pidana suap sampai disahkannya Foreign Corrupt Practices Act 1977.

Dua contoh ini, oleh Herry, menginsyaratkan bahwa suatu tindakan dipahami korupsi bukan karena semata-mata melanggar hukum. Karena jika hanya dipandang sebagai masalah pelanggaran hukum, sampai kapan pun bisa saja penyuapan perusahaan-perusahaan di Jerman dan Amerika Serikat tidak pernah selesai. Atau bahkan yang dilakukan Wittgenstein untuk membebaskan dua saudarinya akan selalu salah meskipun sebenarnya diskriminasi rezim Nazi itu sendiri yang tidak legitim secara moral.

Dua contoh itu juga menegaskan tidak semua yang ilegal itu korup dan begitu juga sebaliknya. Jadi, korupsi dalam kacamata tanggung jawab moral adalah persoalan moral, bukan hanya persoalan pelanggaran hukum (pidana). Itulah mengapa korupsi itu ilegal karena imoral, bukan sebaliknya. Kalau begitu, setiap upaya otak-atik, bongkar-pasang pasal dalam Undang-Undang (termasuk tentang penyelesaian korupsi ringan dengan administratif itu) hanya akan menjadi usaha sia-sia dalam penanganan korupsi yang betul-betul komprehensif dan berdaya ubah.

Bahwa dari artikel Haryatmoko (2003) yang dia kutip terkait akuntabilitas korupsi memang kekhawatiran yang beralasan. Usulannya untuk mengembangkan paradigm follow the money, justru mengerdilkan upaya penegakan hukum korupsi. Sudah saatnya, bukan untuk memilih salah satu paradigma, apakah follow the money atau follow the suspect, tetapi follow both: the money and the suspect.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X