Lisa Aprilia Gusreyna
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Korupsi yang jumlahnya di bawah Rp 50.000.000 akan ditindak secara administratif, yaitu cukup dengan mengembalikan kepada negara. Alasannya, karena jumlah itu termasuk korupsi ringan (petty corruption).
Dua pertanyaan awal saya muncul: apa dasarnya untuk menentukan jumlah Rp 50 juta dan mengapa tidak 51 atau 48 juta? Dan dari mana dasarnya untuk menyimpulkan bahwa jumlah Rp 50 juta ke bawah adalah korupsi ringan? Yang sedang dan berat berapa?
Semakin membuat heran pula, bahwa kesesatan berlogika dan berpikir ini justru dibela (oleh pengamat hukum) dengan dalil perlunya penegakan hukum tindak pidana korupsi yang progresif, termasuk yang secara serampangan menyebut keadilan restoratif.
Korupsi di Indonesia ini telah dinyatakan sebagai tindak pidana. Bahkan dalam terminologi hukum, korupsi bukan hanya tindak pidana biasa melainkan tindak pidana khusus yang mensyaratkan baik dari sisi prosedur penanganan dan jenis hukuman harus lebih berat dari tindak pidana biasa.
Tetapi pembedaan atas karakter tindak pidana ini adalah tataran paling rendah kalau kita ingin melihat korupsi sebagai sebuah kejahatan (crime). Korupsi pada dirinya sendiri sebagai sebuah kejahatan tidak boleh dipandang sebagai persoalan hukum. Setiap orang yang melakukan korupsi telah secara sadar melakukan pencurian dan penggarongan uang publik yang sejatinya digunakan untuk kepentingan publik. Secara kriminologis, para pelaku korupsi telah menjadi penjahat sejak pikiran mereka untuk berbuat korup sudah muncul.
Dalam kacamata positivisme hukum, korupsi dihukum karena dia ilegal. Karakter ilegalitas tindak pidana korupsi itu adalah dengan pemberian sistem hukum sendiri. Artinya, justru karena sistem hukum memang sudah mendefinisikan korupsi sebagai ilegal maka jika dilakukan artinya pelaku telah melanggar hukum dan dengan demikian pelaku itu harus dihukum. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah ilegalitas korupsi itu sendiri yang membuatnya menjadi perbuatan yang memang seharusnya dilarang?
Jika itu pertanyaannya, aspek moral individu berperan penting. Pertama, ketika seseorang dengan pongah dan secara sadar mengambil apa yang tidak menjadi haknya atau melakukan penyelewengan atas jabatannya demi memperkaya diri dan kelompoknya, juga sebenarnya menyadari bahwasanya apa yang dilakukannya salah, artinya itu bukan soal pelanggaran hukum semata. Ruang moral dalam diri seseorang penjahat sekalipun akan gelisah.
Kondisi itulah saat di mana kesadaran moral individu memahami betul apa yang sebenarnya jahat (dan dengan begitu jangan dilakukan) dan tuntutan moral apa yang seharusnya dilakukan (human qua human). Korupsi adalah tindakan immoral, di mana setiap individu memahami betul itu sebagai sebuah kejahatan yang seharusnya tidak dilakukan (what should not do).
Kedua, pertanyaan lanjutannya kemudian, meminjam apa yang dituliskan B Herry Priyono (2018), korupsi ilegal karena imoral atau imoral karena ilegal? Pertanyaan ini sangat fundamental untuk menjawab segala macam dalil positivisme hukum (pidana) termasuk pendekatan untung-rugi secara ekonomi (cost-benefit analysis) dalam menangani korupsi.
Herry menyajikan contoh yang sangat menarik. Sebelum tahun 1977, sama seperti di Jerman sampai tahun 1999, segala penyuapan oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk memenangi kontrak bisnis di negara lain tidak dihukum sebagai pidana suap sampai disahkannya Foreign Corrupt Practices Act 1977.
Dua contoh ini, oleh Herry, menginsyaratkan bahwa suatu tindakan dipahami korupsi bukan karena semata-mata melanggar hukum. Karena jika hanya dipandang sebagai masalah pelanggaran hukum, sampai kapan pun bisa saja penyuapan perusahaan-perusahaan di Jerman dan Amerika Serikat tidak pernah selesai. Atau bahkan yang dilakukan Wittgenstein untuk membebaskan dua saudarinya akan selalu salah meskipun sebenarnya diskriminasi rezim Nazi itu sendiri yang tidak legitim secara moral.
Dua contoh itu juga menegaskan tidak semua yang ilegal itu korup dan begitu juga sebaliknya. Jadi, korupsi dalam kacamata tanggung jawab moral adalah persoalan moral, bukan hanya persoalan pelanggaran hukum (pidana). Itulah mengapa korupsi itu ilegal karena imoral, bukan sebaliknya. Kalau begitu, setiap upaya otak-atik, bongkar-pasang pasal dalam Undang-Undang (termasuk tentang penyelesaian korupsi ringan dengan administratif itu) hanya akan menjadi usaha sia-sia dalam penanganan korupsi yang betul-betul komprehensif dan berdaya ubah.
Bahwa dari artikel Haryatmoko (2003) yang dia kutip terkait akuntabilitas korupsi memang kekhawatiran yang beralasan. Usulannya untuk mengembangkan paradigm follow the money, justru mengerdilkan upaya penegakan hukum korupsi. Sudah saatnya, bukan untuk memilih salah satu paradigma, apakah follow the money atau follow the suspect, tetapi follow both: the money and the suspect.
Ketiga, juga ada logika terbalik dalam memahami maksud UNCAC dan konsep plea bargaining yang saat ini semakin berkembang. Baik pada Pasal 37 Ayat 2 dan 3 UNCAC maupun konsep plea bargaining bukan untuk mengubah jenis hukuman melainkan soal pertimbangan meringankan ancaman hukuman pelaku yang mau bekerja sama dalam pembongkaran kasus korupsi.
Jadi, bukan berarti melepaskan pelaku dari jeratan proses peradilan ataupun pidana badan atau penjara melainkan memberikan diskresi keringanan hukuman dari yang seharusnya ia dapatkan.
Hal yang juga membingungkan saya adalah ketika Albert mengusulkan parameter objektif bagi jaksa untuk melakukan diskresi. Dikatakan perlunya parameter tingkat kesalahan (schuld) misalnya karena kurangnya pemahaman atau pengetahuan. Ini membingungkan karena bagaimana kita bisa mengukur untuk mengurai dan menambah kadar kesalahan seorang terduga pelaku. Itulah mengapa dalam hukum pidana kesalahan harus dibuktikan secara objektif bukan mengira-ngira. Usulan ini tentu salah kaprah.
Keempat, ada lagi soal usulan terkait dampak perbuatan terdakwa yang “hanya terjadi dalam skala kecil dan tidak berdampak luas”. Ini juga pola pikir yang keliru, karena dampak korupsi selalu meluas dan berjangka panjang. Korupsi selalu merugikan kepentingan publik dan daya rusak korupsi tidak bisa diukur kecil besar tanpa melihat semua jaringan sosial yang dirusak oleh korupsi itu sendiri.
Sanggahan di atas membuktikan bahwasanya pengerdilan korupsi hanya sebagai persoalan hukum, dan tidak menempatkannya sebagai persoalan moral, akan selalu menciptakan ragam bentuk omong kosong dan upaya yang sia-sia: termasuk usulan adanya korupsi ringan, sedang, berat. Korupsi adalah korupsi. Korupsi apapun berbobot sama rusaknya dalam kerangka moral individu.
Kemudian, penyelesaian korupsi sebagai persoalan atau fenomena moral menuntut kerja bersama semua pemangku kepentingan. Dan sama sekali bukan dengan menyimplifikasi berapa jumlah rupiah kerugian negara semata. Mulai komitmen para pejabat tertinggi hingga pembangunan system check and balances yang kuat baik masing-masing lembaga maupun sistem sosial di masyarakat. Pendidikan antikorupsi yang terus harus diimplementasikan secara konsisten, serta penguatan lembaga antikorupsi yang tidak formalitas saja, menjadi upaya yang tidak boleh berhenti.
Meskipun korupsi tidak boleh dipandang semata-mata masalah hukum, tetapi penegakan hukum yang konsisten, bersih, imparsial dan adil tetap dibutuhkan dan bukan berarti atas nama keadilan restoratif atau hukum progresif, dengan serampangan penjahat dibiarkan terus menjadi penjahat (duit negara boleh saja kembali, tetapi negara juga secara tidak langsung melakukan “pembiaran” atas kerusakan moral warganya begitu saja?). Termasuk revisi atau pembentukan hukum antikorupsi yang berpihak pada arah pemberantasan korupsi juga harus menjadi agenda besar negara.
Thomas Aquinas mengingatkan, hukum seharusnya berupa “peraturan akal budi untuk suatu kebaikan bersama yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab atas komunitas dan dipromulagasikan” (Simplesius Sandur, 2019).
Dua hal yang penting dari Aquinas tentang hukum dalam konteks korupsi ini adalah perlunya kesadaran bahwa hukum antikorupsi itu suatu perintah akal budi (rationalis ordination), untuk tujuannya kebaikan Bersama (bonum communae), dan bukan hanya untuk institusi atau profesi (hukum) tertentu.
Jangan kita membuat kebijakan hukum antikorupsi tanpa akal budi dan tidak berorientasi pada kepentingan atau kebaikan bersama. Satu lagi, korupsi bukan genus khusus dari pencurian, tetapi memakai istilah Herry Priyono, spesies tertentu imoralitas! (luc/k8)