Wacana penundaan pemilu 2024 yang otomatis berujung pada perpanjangan masa jabatan Presiden disorot banyak kalangan. Tak terkecuali dari pengamat politik. Salah satunya adalah, Pengamat politik dari Univesitas Indonesia, Ade Reza Hariyadi. Menurutnya, wacana tersebut kontraproduktif dengan sistem politik di Indonesia. Bahkan, bertentangan dengan antusiasme masyarakat menyongsong Pemilu dan Pilpres 2024.
“Dalam undang-undang republik ini sudah jelas, pembatasan masa jabatan presiden harus dilakukan untuk menjaga sistem demokrasi agar berjalan sesuai konstitusi dan mencegah pemerintahan yang otoriter dan korup,” kata Reza melalui keterangan tertulis, Kamis, (24/2).
Ditambah lagi dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartato, yang menampung aspirasi tersebut saat berkomunikasi dengan petani sawit di Siak, Pekanbaru. Meskipun sikap Airlangga tak setegas Muhaimin, namun ia menyatakan akan membawa aspirasi para petani itu ke tingkat DPR dan akan membahasnya bersama ketua umum partai politik lain.
Sumpah Presiden juga menyatakan pentingnya memegang teguh Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan selurus-lurusnya. Atas dasar ketentuan konstitusi pula, lanjutnya, diatur jelas bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
“Harusnya dia memberikan pendidikan politik kepada petani. Bisa dengan menyatakan bahwa hal itu bertentangan dengan konstitusi,” kata Reza. Hal senada dikemukakan pakar hukum tata negara Margarito Kamis. Perpanjangan masa jabatan presiden atau menunda pemilu harus dilakukan dengan mengamendemen konstitusi atau UUD 1945. Dia menilai tidak ada landasan hukum untuk menunda pesta demokrasi lima tahunan tersebut. UUD 1945 sudah mengaturnya.
“Silakan saja ubah UUD 1945 atau Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit untuk perpanjangan dirinya sebagai presiden. Itu silakan saja. Biar rakyat menilai,” kata Margarito. (jpc)