PANDU PRATAMA PUTRA, lahir 12 November 1995. Mencintai dunia kepenulisan dan telah mengeluarkan satu buku komedi, satu kumpulan cerpen, dan beberapa cerpen yang diterbitkan dalam sebuah buku antologi cerpen bersama dan media.
Oleh: Pandu Pratama Putra
IG: @pandupratamaputra_
Bihitn. Anak kecil itu sudah tumbuh remaja. Ia besar dengan ajaib melalui tangannya sendiri. Tumbuh dan hidup berkat warisan yang diberikan oleh orangtuanya. Benar, bapak dan mamaknya telah lama mati sejak ia berumur delapan tahun.
Tidak ada yang tahu kenapa secara tiba-tiba dan bersama-sama, kedua orangtuanya meninggal. Keduanya ditemukan sudah tiada di atas tempat tidur mereka di pagi hari. Tanpa cacat dan tanda-tanda mencurigakan dari kematian mereka.
“Ini pasti karena mereka bersepakat dengan jin. Mereka melanggar janji ini.”
“Iya, aku pernah dengar orang desa sebelah juga ada yang matinya begini. Katanya sih pesugihan.”
“Pantesan ya. Hampir separuh hutan punya mereka semua. Ditambah tanaman mereka subur-subur. Kayaknya gara-gara perjanjian mereka itu.”
“Pasti.”
Bihitn si anak delapan tahun itu hanya bisa mendengarkan omongan orang-orang. Butuh beberapa tahun kemudian untuk dia paham ucapan orang-orang saat itu. Butuh banyak hal-hal pahit yang dialaminya untuk bisa mengerti bahwa saat ini, dia adalah orang paling dibenci di desa.
“Eh, si anak jin lewat.”
“Lihat tu mukanya, hitam sebelah dan giginya panjang-panjang.”
“Aku denger dia kaya begitu karena mamaknya dulu enggak ngerelain dia diambil sama jin yang udah bantu mereka jadi kaya.”
“Iya ya, masuk akal juga. Ngerik banget. Mukanya udah kayak monyet.”
“Eh, iya ya. Bener juga, mirip monyet.”
Bihitn hanya bisa mendengar semua itu tanpa melawan. Di dalam hati, Bihitn tentu saja tidak terima dan marah. Terlebih jika orang-orang mulai menceritakan tentang orangtuanya. Tapi, semua orang sepakat dan setuju dengan perkataan-perkataan itu. Jika melawan, Bihitn yang akan kena batunya. Seperti yang pernah dialaminya di umur sepuluh tahun. Bihitn si anak-anak berusaha ikut bermain dengan teman-teman sebayanya di kampung.
“Hei Bihitn, kamu enggak boleh ikut main. Kata mamakku kamu itu anak jin. Nanti kita semua kena sial.”
“Aku juga pengin main kelereng dengan kalian. Aku baru aja beli satu bungkus,” sahut Bihitn sambil membawa seplastik besar kelereng.
Tiba-tiba seorang anak terpeleset oleh kelereng yang tersebar di tanah. Seketika anak itu menangis dan anak-anak lainnya melihat Bihitn yang masih berdiri kaku tanpa tahu sebab anak-anak lainnya menatap dia dengan tajam.
“Bihitn si anak jin. Ini semua karena kamu. Kan aku udah bilang kamu pulang aja karena pasti bawa sial.”
“Kok aku sih? Aku enggak ngapa-ngapain kok.”
“Woi si anak jin, pulang kamu! Enggak usah di sini lagi!”
“Iya woi, pulang!” Beramai-ramai anak kecil itu meneriaki Bihitn. Satu di antaranya bahkan mendorong Bihitn dengan keras hingga terjatuh. Plastik berisi kelereng milik Bihitn pun berserakan. Anak-anak itu terus memojokkan Bihitn. Dan Bihitn pun meninggalkan mereka.
Air mata Bihitn tumpah. Berceceran hingga ke rumah. Tangisnya pecah, tapi tidak ada yang bisa memeluknya di rumah. Kelereng yang dijatuhkannya di tanah, sekarang sudah jadi milik anak-anak yang mengusir Bihitn. Yang hina dan jin hanya Bihitn, barang-barangnya tentu tidak.
Sejak saat itu, Bihitn sudah tidak pernah berupaya untuk menjadi dekat dengan siapa-siapa. Bihitn si remaja tumbuh dengan mengurus hutan dan kebun milik orangtuanya. Hutan dan kebun yang subur. Hutan dan kebun yang bila dilempar biji mangga tanpa perlu ditanam bisa langsung berdiri dan sehat hingga berbuah. Ini adalah warisan bapak dan mamak Bihitn. Tempat tenteram yang Bihitn miliki. Setidaknya sampai segerombolan warga tiba-tiba membakar sebagian hutan milik Bihitn.
“Bapak-bapak, kenapa hutanku kalian bakar?”
“Eh, Bihitn. Hutanmu ini akan kami jadikan lahan pertanian untuk warga desa.”
“Tapi ini kan hutan milik bapakku. Bapakku yang punya hutan ini. Aku yang akan merawatnya sekarang.”
“Eh, Bihitn. Hutan ini milik bapakmu lewat perjanjian dengan jin. Kalau tanah ini masih terus-terusan kamu miliki. Hidup kami yang akan terus sial dan miskin. Setelah kami rapat desa kemarin, kami menyimpulkan bahwa kemiskinan yang kami alami di desa, itu semua karena kutukan dari bapak dan mamakmu yang bersekutu dengan jin. Kami harus miliki hutan ini sekarang dan kamu harus pergi dari tempat ini sekarang!”
“Enggak bisa gitu bapak-bapak. Ini hutan milik bapak saya.” Bihitn masih melawan sampai akhirnya semua warga kampung mengeluarkan parang dan api yang digunakan untuk membakar hutan milik Bihitn ke arahnya. Bihitn berlari kencang ke rumahnya dan ketakutan.
Warga mulai beringas dan meminta Bihitn segera pergi dari desa. Bihitn si remaja tidak tahu harus ke mana. Ini adalah rumahnya. Tapi hutan miliknya saja bisa sekejap hilang, apalagi rumahnya saat ini.
Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu rumah Bihitn. Ia takut keluar karena bisa saja warga itu mengejar dan mengamuk ke rumahnya. Tapi ketukan pintu makin kuat. Bihitn berusaha mendekat dan mengintip melalui celah pintu kayu yang sedikit berlubang.
Bihitn melihat seseorang yang asing untuknya. Orang itu kembali mengetuk pintu. Bihitn dengan takut membuka pintunya.
“Bihitn, kamukah itu?”
“Iya. Kamu siapa?”
“Ikut aku, kamu harus tinggalkan desa ini sekarang. Desa ini udah enggak aman. Aku kenal bapak dan mamakmu.”
“Tapi kita mau ke mana? Di sini rumahku.”
“Kita ke rumahmu yang lain.”
Bihitn terkejut, ucapan itu meyakinkannya untuk meninggalkan desa. Desa tempat Bihitn lahir dan tumbuh. Desa yang begitu kejam menghukum Bihitn. Desa yang sekarang hanya bisa dikenang Bihitn dalam ingatan karena sudah habis terbakar oleh kerakusan dan kebodohan warganya. (dwi/k8)