Oleh: Esty Pratiwi Lubarman
"Aku hidup untuk hari ini, selebihnya aku tidak mengharapkan bangun di pagi hari dan mengulang semuanya terus-menerus."
Laki-laki yang mencintai kematiannya. Ia laki-laki yang gema sunyinya bahkan tidak bisa dihindari. Ia babak belur menghadapi waktu yang baik hati. Setiap langkahnya menjelma sebuah kemarahan. Di dalam dirinya hanya anak kecil yang butuh pelukan dari sosok ayah atau anak kecil yang ingin pergi tamasya bersama ibunya.
Selama ini yang ia lakukan memberi hidup pada kehidupan agar terus bergulir. Dia berharap, akhir yang bahagia, tapi rasanya itu terlalu naif di dunia nyata. Di sebuah malam aku ingin sekali memberikan pelukan di antara kesunyian yang menyelimutinya. Tapi sebuah jarak memisahkan segala hal.
"Aku sebenarnya bekerja sejauh ini untuk apa, Nggi. Selain untuk orangtuaku agar dapat label anak berbakti. Untuk siapa lagi? Untuk diriku? Rasanya diriku tidak memerlukan kemewahan."
Di balik ponsel ini, aku hanya termangu, mendengarkan kalimat demi kalimat yang ia katakan. Zaman yang menuntut segala hal harus cepat, tidak meninggalkan sedikit pun kesenangan selain waktu yang sesaat menjadi sepi dan semu. Nyatanya kita semua dibenturkan oleh keinginan dan kebutuhan. Bahkan untuk sejenak saja, semesta tidak memberikan waktu kita untuk bersandar.
Tingkat bunuh diri di banyak negara selalu meningkat. Pekerjaan dengan gaji yang besar, rumah yang nyaman tidak menjanjikan apapun ketika sebuah kesunyian hadir di setiap jiwa manusia. Sedikit banyak itulah yang mungkin dirasakan oleh laki-laki ini.
Tahun ini genap empat tahun aku mengenalnya dan lucunya kami tidak pernah bertemu satu sama lain di dunia nyata. Dia tidak istimewa, dia hanya laki-laki yang memegang teguh maskulinitasnya. Tapi ada sebuah perasaan sebagai manusia yang kemudian bisa membuat kita terhubung sejauh ini. Aku tidak berharap apapun atas hubungan ini, apa yang bisa kuharapkan dari hidup yang selalu berakhir tragedi?
"Tapi lihat dirimu sekarang Sar, sudah menjadi orang sukses. Kamu bisa membeli semua barang yang dulu kamu bahkan susah payah untuk membelinya."
Terdengar jelas, ia sedang mengisap rokok sangat dalam.
"Aku tidak sukses, Nggi. Aku kalah oleh keadaan..."
"Tapi tidak semua orang memiliki kesempatan seperti kamu, Sar. Bisa menjelajahi negara lain dan dapat penghasilan di sana."
"Pekerjaan menjadi buruh, Nggi. Orang-orang melihat penghasilanku yang besar, tapi mereka tidak tahu aku bahkan bekerja lebih dari 10 jam satu harinya. Tidak ada kawan atau keluarga. Setelah bekerja aku hanya berkawan dengan sepi."
Aku memahami kesunyiannya seperti kesunyian yang aku ciptakan. Di semesta ini tidak ada manusia yang benar-benar hidup, selain dengan prinsip aku hidup atas sebuah keharusan. Setiap harinya aku hanya berharap laki-laki ini bisa benar-benar hidup, menunggu kabar darinya melalui ponsel ini.
”Aku bersyukur sekali, Sar. Kamu selalu berusaha setiap harinya. Hanya kalimat ini yang bisa aku ucapkan."
"Terima kasih, Nggi. Sudah datang di empat tahun terakhirku. Setidaknya ada manusia yang benar-benar tahu keadaanku. Kalau aku pulang ke Indonesia, kita harus bertemu," suaranya terdengar lemah. Aku senang mendengarkan kalimat terakhirnya, tapi aku benar-benar tidak berharap apapun.
"Iya, Sar. Terdengar sebuah rencana yang bagus."
"Jangan anggap itu sebuah janji, okay. itu hanya sebuah rencana yang terdengar bagus."
"Iya. Kau kan manusia yang anti dengan sebuah janji," aku tertawa kecil, tapi lebih terdengar seperti tertawa satire.
Aku tidak bisa menduga takdir, karena ia selalu datang dengan awan hitam dan gemuruh hujan. Aku benar-benar merasakan, laki-laki ini seperti sedang menghadapi takdirnya yang durjana. Sebuah realitas yang mengungkung setiap jiwa manusia, menyadarkan kita pada banyak kasus bunuh diri ataupun kriminalitas. Di antara banyak jalur penyelesaian, kita selalu ditawarkan oleh cara instan. Apakah terlalu memuakkan hidup di sebuah realitas yang semu ini?
"Iya, Nggi, ya sudah. Aku akan pergi tidur. Besok, buruh ini akan bekerja lagi," ia tertawa, ia selalu pandai menertawakan kegetiran hidupnya sendiri.
"Iya, Sar, terima kasih sudah menghubungi aku malam ini. Selamat malam."
Kita mengakhiri percakapan malam ini dengan harapan dia masih hidup di hari esok. Malam ini semakin sunyi, angin masuk di sela-sela jendela kamarku. Aku merasakan gigil sunyi memeluk diriku, aku selalu berharap hidupku dihujani kesempatan. Tapi, aku tidak bisa mengharuskan semua hal bisa terjadi.
Kita semua seperti melacurkan diri untuk hidup.
***
Malam-malam setelahnya aku tidak mendapatkan kabar darinya. Ia bahkan tidak meninggalkan pesan sekalipun, aku berpikir dia sangat sibuk. Aku meminimalisasi dugaan lain yang muncul di benakku. Tapi firasatku sangat buruk untuk sekadar menunggu pesan atau panggilan darinya.
Ini sudah tepat tiga hari setelah komunikasi kita malam itu. Aku tidak bisa bertanya kepada siapa pun tentang keadaannya. Aku mengalihkan kekhawatiranku, berselancar ke sosial media dan membaca berita terbaru hari ini.
Satu judul berita membuat jariku berhenti berselancar dan aku hanya bisa terdiam. Aku kemudian memandang lama layar ponselku tanpa ekspresi apapun. Ini seperti seluruh organ-organ dalam tubuhku berhenti untuk sesaat. Sesaat aku tersadar, aku tidak ingin terbuai dengan judul berita yang terkesan berlebihan ini. Aku mencari berita lain dan berusaha benar-benar memastikan. Baik nama korban ataupun tempat kejadian.
Ya, benar. Korban bunuh diri itu, Sarwono. Lelaki yang selama empat tahun ini menawarkan kebiasaan baru untukku. Aku ingin sekali memberikan kesimpulan bahwa korban dalam berita ini bukan Sarwono yang aku kenal. Tapi nahasnya aku berakhir dengan kesimpulan yang tragis. Ia ditemukan di sungai yang tidak jauh dari tempat ia tinggal. Di berita itu disebutkan nama tempat bekerjanya dan tentu kewarganegaraan asalnya.
Sampailah dia pada kematian yang selalu dia inginkan. Andaikan aku sadar malam terakhir itu menjadi perbincangan terakhir kita, aku akan benar-benar menyampaikan betapa bersyukurnya aku mengenal dia. Tapi nyatanya hidupku seperti selalu tidak diberikan banyak kesempatan. Tidak akan pernah ada yang siap atas kehilangan. Aku kembali merasakan hal yang sama, seperti saat terakhir kali Bapak menemui ajalnya.
Laki-laki yang berhati karang, setiap langkahnya adalah kesunyian di antara bising segala harapan manusia di semesta ini. Bahkan dengan langkahnya, dia menciptakan takdirnya sendiri. Malam ini sangat dingin, air mata membasahi segala hal dalam diriku. Di kamarku, malam menjelma kehilangan. Barangkali hidup memang tidak pernah memberikan bahu untuk bersandar.
Sarwono mungkin terlihat gagal menghadapi keadaan, bagaimanapun dia hanya anak laki-laki yang bermental apa adanya. Kupikir manusia akan selalu mengakhiri ceritanya. Ya, Sarwono sudah membuktikannya dan dia menjadi salah satu korban yang kemudian menambah kasus bunuh diri para buruh. Dia tidak pernah gagal dia hanya menciptakan akhir kisahnya sendiri. (dwi/k8)
BIODATA

ESTY PRATIWI LUBARMAN, lahir di Samarinda, 28 November 1999. Mahasiswa Universitas Mulawarman, Fakultas Ilmu Budaya. Pada 2019 melahirkan buku kumpulan puisi berjudul "Perempuan Dikekang Malam".