Banyak orang yang tidak mengambil pelajaran dari pengalaman, ahli hikmah, dan pribahasa. Di antaranya, Edy Mulyadi yang sekarang menjadi pesohor sejagad Nusantara karena ucapannya.
Padahal sudah banyak sebelumnya orang yang tidak pandai menjaga lisannya menjadi penghuni penjara, atau paling tidak menyesal atas perkataan yang sudah telanjur keluar dari mulutnya. Lalu sibuk mengklarifikasi makna ucapan bahwa tidak ada maksud menyakiti, menghina, dan seterusnya.
Meskipun sudah mencoba mengklarifikasi ucapannya, nasi sudah telanjur menjadi bubur. Ucapannya sudah kepalang membuat sebagian masyarakat Kalimantan tersinggung. Kata-kata Edy dianggap menganalogikan Kalimantan sebagai tempat yang terkucil dan sepi. Warganya dianalogikan sebagai makhluk halus, jin, dan genderuwo, serta monyet.
Secara bahasa bisa saja klarifikasi Edy Mulyadi benar bahwa tidak ada maksud menghina masyarakat Kalimantan. Namun, Edy lupa bahwa ucapannya bisa dimaknai lain oleh orang lain yang tidak selaras dengan yang dimaksud.
Urusan tidak ada maksud atau tidak, mungkin nanti urusan ahlinya yang memperdebatkan atau pengadilan yang memutuskan. Namun yang jelas, masyarakat sudah telanjur tidak terima dengan kata-kata Edy.
Mulutmu harimaumu, inilah peribahasa yang harusnya diingat Edy sebelum berucap. Peribahasa yang sering muncul untuk mengingatkan tentang dahsyatnya kekuatan kata yang diucapkan seseorang. Kekuatan itu bisa dalam konotasi negatif, bisa juga positif.
Konotasi negatif dari kekuatan kata yang terlontar adalah bisa menyakiti, membuat orang tertekan, stres, dan sebagainya. Sedangkan konotasi positifnya adalah kata-kata mampu membuat orang menjadi kuat dan termotivasi. Efek kata-kata bisa positif dan sebaliknya negatif.
Dalam kasus yang sedang heboh sekarang, Edy Mulyadi tidak dalam posisi mengambil konotasi positif untuk membuat orang menjadi kuat atau termotivasi, sebaliknya lebih kepada konotasi negatif, mampu membuat orang tersinggung dan sakit hati. Akibat ucapan tanpa ingat pengalaman yang sudah-sudah dan tidak ingat peribahasa di atas, Edy bersiap-siap berurusan dengan pihak berwajib.
LISAN INDIKATOR IMAN
Dalam istilah agama, kehati-hatian dalam menjaga kata-kata sering dikaitkan dengan etika atau akhlak lisan. Menjaga lisan bagian ajaran penting dalam Islam. Banyak sekali ayat dan hadis yang membahasnya.
Saking pentingnya masalah lisan ini, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah menghubungkannya dengan indikator keimanan seseorang. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik. Jika tidak bisa, maka diam saja,” demikian redaksi terjemahan hadisnya.
Mafhum mukhalafah atau kesimpulan balik dari hadis menjelaskan, orang yang tidak bisa berkata baik-baik, bukanlah orang yang beriman, baik beriman kepada Allah maupun hari akhir.
Redaksi hari akhir pada hadis juga memberi isyarat yang jelas bahwa setiap kata-kata yang diucapkan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Perkataan yang baik akan mendapat ganjaran baik yang akan memperberat timbangan amal kebaikannya. Sebaliknya perkataan yang menyakitkan, berbohong, fitnah, dan sebagainya akan mendapat ganjaran dosa.
Pada hadis tersebut juga terungkap bahwa tidak ada pilihan selain berkata baik selain diam. Yang keluar dari lisan seseorang haruslah yang baik-baik saja. Opsi lain tidak bisa berkata baik hanyalah diam. Jika tidak bisa berucap baik, maka diam saja.