Perihal Presidential Threshold

- Jumat, 21 Januari 2022 | 13:25 WIB

Miftah Faried Hadintha
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum UGM


Mendekati Pemilu serentak 2024 mendatang, isu-isu sekitar pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan legislatif mulai berkecambah. Hal ini memang perlu disadari, sebab pada tahun-tahun Pemilu, mesin-mesin politik biasanya mulai dihidupkan dua tahun sebelum perhelatan di tempat pemungutan suara dilakukan.

Bahasan yang hari-hari ini menarik ialah pemilihan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Penulis akan membahas Presidential Threshold (PT). Kendati terlihat memesona, PT sebetulnya memiliki celah yang patut dipersoalkan. Selain menanggalkan prinsip yang disediakan konstitusi, desain PT sesungguhnya juga mengkonfirmasi adanya kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok tertentu. Jadi secara singkat, boleh dikatakan, PT menciptakan iklim Pemilu eksekutif yang terbatas.

Logika Presidential Threshold Apabila dibandingkan dengan negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensil, misalnya Amerika, tidak pernah ditemukan ambang batas dijadikan sebagai persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Istilah Threshold, sebetulnya, merujuk pada jumlah suara tertentu yang harus dipenuhi calon untuk dinyatakan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden terpilih, bukan syarat pencalonan. Dalam hal ini, UUD NRI 1945 telah menyedikan ambang batas keterpilihan itu, yakni melalui Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) – jika ada dua putaran.

Di Indonesia, istilah threshold bergeser maknanya menjadi syarat pencalonan. Ihwal ini dapat dilacak dalam 5 ayat (4) UU 23 Tahun 2003, yang kemudian diganti menjadi Pasal 9 UU 42 Tahun 2008, dan diubah menjadi Pasal 222 UU 7 Tahun 2017.

Jika ditelusuri sekitar risalah-risalah sidang, ide awal dicantumkannya PT sebagai syarat tambahan bagi partai politik untuk dapat mengusulkan calon, hanya dapat diberlakukan dalam konteks Pemilu untuk memilih anggota legislatif dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya, PT akan relevan dalam keadaan jika agenda untuk memilih eksekutif dan legislatif dibuat dalam waktu yang tidak bersamaan.

Walaupun relevan dalam situasi agenda Pemilu terpisah, sebetulnya mencantumkan PT di level undang-undang merupakan bentuk pembatasan munculnya ragam calon. Apabila ingin kembali ke konstitusi, terutama selama perdebatan yang muncul pada waktu perubahan konstitusi 1999-2002, akan ditemukan bahwa perumus sepakat untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi partai politik dapat mengusulkan calon Presiden, selama dinyatakan sebagai peserta Pemilu.

Artinya, original intent konstitusi menginginkan banyak pasangan calon yang akan dapat berkontetasi. Bagaimana dengan putusan MK? MK berkali-kali menyatakan PT merupakan open legal policy – pembentuk undang-undang diberi kebebasan untuk tetap mencantumkan atau tidak ambang batas persyaratan pencalonan itu.

Harus diingat, bahwa MK, terutama dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, membangun rancang bangun PT dalam konteks penguatan sistem presidensil, yakni dengan membangun koalisi permanen, agar terjadi penyederhanaan partai politik secara alamiah. Melihat bentangan empirik, koalisi permanen semacam itu tidak pernah diwujudkan. Lihat, misalnya, fenomena bersatunya kubu 01 dan 02 pada Pemilu 2019 silam.

Artinya, logika PT tidak saja tidak seirama dengan orginilalitas konstitusi, melainkan pula alasan pragmatis agar kekuasaan hanya dapat dipegang kumpulan tertentu. Kalaupun menggunakan putusan MK untuk dijadikan dasar penguat tetap dipertahankannya PT, konteks yang secara jelas didesain MK pun tidak dipatuhi. Singkatnya, ada dua “kecurangan” memakai logika PT: menentang originalitas konstitusi dan putusan MK.

Bukan Living Constitution

Dalam konteks pembacaan terhadap ayat konstitusi, baik individu, hakim, dan pembentuk undang-undang, dapat saja tidak berpegang pada makna asli yang disediakan hukum dasar. Cara penafsiran demikian dikenal dengan living constitution. Teori ini mengandaikan: dalam melakukan penafsiran atas konstitusi, boleh melepaskan diri dari originalitas konstitusi, atau mengkontekskannya dengan situasi kontemporer. Orang yang menggunakan sudut pandang ini, diiringi dengan pendekatan doctrinal, prudential, dan equitable.

Jika diletakkan dalam pemilihan Presiden, dapat saja pembentuk undang-undang, ketika menafsirkan Pasal 6A UUD NRI 1945, tidak berpegang kepada maksud asli perumus konstitusi. Singkatnnya, makna pasal-pasal konstitusi itu bisa diubah dari makna aslinya. Tapi ada yang harus diingat, hasil penafsirannya itu bertujuan menguatkan nafas fundamental dalam konstitusi, bukan sebaliknya.

PT “ala” Indonesia bukan hasil dari konstruksi living constitution. Setidaknya ada dua alasannya: Pertama, pelaksanaan Pemilu legislatif dan eksekutif tidak dilakukan terpisah. Ambang batas sebagai syarat bagi partai politik mengusulkan pasangan calon Presiden, sudah dipakai tahun 2019 lalu.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X