Di Martapura, bijih intan mentah sampai ke perajin yang menyulapnya menjadi berlian bernilai tinggi yang prominen sampai ke Eropa. Namun, seperti para pendulang, jumlah penggosok juga menyusut seiring kian sulitnya intan ditemukan di pendulangan.
AGUS DWI PRASETYO, Martapura
DI sudut rumah kayu itu, H Muhyan menekuni profesinya. Menggosok intan mentah dengan menggunakan beberapa alat sederhana.
Salah satunya dop. Di ujung alat itu ada besi bundar sebesar kelereng untuk menjepit intan berukuran kecil. Agar mudah dipegang, alat krusial untuk menggosok bijih intan mentah tersebut diberi tangkai yang terbuat dari kayu ulin.
Selain dop, Muhyan juga menggunakan tang untuk menjepit intan yang berukuran lebih besar. Intan yang dijepit itu kemudian diasah di atas iskip (gerinda), pelat besi bundar yang berputar di sebuah sumbu. Untuk mengamati hasil gosokan, Muhyan memakai tarupung. Bentuk dan kerja alat itu mirip mikroskop yang biasa digunakan untuk meneliti benda-benda supermungil.
Siang itu Muhyan menggosok intan yang ukurannya sebesar butiran gula. Seperti seorang petugas laboratorium, pria yang akrab disapa Ian itu betul-betul berfokus mengamati batu galuh tersebut. Matanya tak bergeser sedikit pun dari tarupung. ”Memang kecil butirannya (intan, Red). Tapi, karena sudah terbiasa, tidak susah lagi,” kata Muhyan saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di Martapura, Kalimantan Selatan.
Dalam rangkaian pembuatan berlian, peran Muhyan sangat sentral. Seperti koki, Muhyan ”memasak” intan mentah menjadi berlian matang yang bisa ”dikonsumsi”. Batu ratna mutu manikam yang berkilau itu kemudian dijajakan para pedagang yang menjamur di Martapura. ”Saat dapat (intan) mentah, langsung digosok di rumah,” ujarnya.
Muhyan tinggal di perkampungan Dalam Pagar, Martapura Timur, Kabupaten Banjar, tidak jauh dari pasar perhiasan Martapura. Sehari-hari, bapak empat anak itu berkutat dengan butiran-butiran intan mentah yang diperoleh dari pasar.
Di kalangan penggosok intan, Muhyan terbilang senior. ”Saya sudah 40 tahun jadi penggosok,” tuturnya.
Sama dengan pendulangan, penggosokan intan tradisional di Martapura tersohor sejak lama. Sudah terkenal di mana-mana. Bahkan sampai ke luar negeri. Djarani dalam bukunya, Mendulang Intan di Martapura, menyebut berlian hasil gosokan intan itu prominen (terkenal) dan beredar luas di kawasan Asia Tenggara. Mulai Singapura, Malaysia, Thailand, hingga Myanmar. Juga sampai ke India, Pakistan, dan Arab Saudi.
Djarani menyebut penggosokan intan di Martapura dan sekitarnya ada sejak masa sebelum Perang Dunia II. Data 1981 mencatat ada 63 usaha penggosokan intan di ibu kota Kabupaten Banjar tersebut. Mayoritas merupakan penggosok yang menggunakan alat-alat sederhana seperti yang ada di rumah Muhyan. Para penggosok itu menekuni profesinya secara turun-temurun.
Lain dulu, lain sekarang. Penggosokan intan di Martapura dan sekitarnya saat ini tak seramai dulu. Muhyan menyebut perajin intan tradisional yang aktif di kampungnya sekarang bisa dihitung jari. Tak lebih dari dua orang. Padahal, sebelumnya ada delapan penggosok. ”Mungkin tinggal 1 persen sekarang (yang masih menggosok intan, Red),” tutur pria 60 tahun itu.