DMO Dihapus, PLN Berpotensi Beli Batu Bara Sesuai Harga Pasar, Waswas Tarif Listrik Naik

- Sabtu, 15 Januari 2022 | 11:18 WIB

Krisis batu bara untuk PLN di Kaltim bisa dihindari. Mengingat provinsi ini merupakan salah satu daerah pemasok emas hitam terbesar di Indonesia.

 

BALIKPAPAN-Pembentukan badan layanan umum (BLU) dan dihapuskannya domestic market obligation (DMO) memiliki tujuan baik. Menarik perusahaan tambang untuk tidak terlalu tergiur mengekspor batu bara di tengah lonjakan harga. Hingga bisa mengikis krisis energi dari batu bara di dalam negeri.

“Perusahaan ‘kan lebih tertarik ekspor karena harganya saat ini jomplang sekali jika dibandingkan DMO yang ditetapkan pemerintah,” ungkap pengamat kelistrikan Bob Soelaiman Effendi, Kamis (13/1).

Dia menyebut, lewat BLU, pemerintah menciptakan kondisi bagi perusahaan. Di mana menjual batu bara ke PLN sama menariknya dengan ekspor. Itu disebut hal positif. Sayangnya, keberadaan BLU disebutnya punya risiko merugikan penambang. Jika disparitas harga antara iuran yang disebut akan dipungut BLU kepada perusahaan nilainya tidak terlalu jauh dengan harga pasar, maka itu tak masalah.

“Tapi bisa dibayangkan, dengan kondisi saat ini dengan disparitas harga yang tinggi (jika dibandingkan pada DMO), berapa pungutan yang akan dikenakan BLU ke penambang? Apakah penambang mau dikutip dengan disparitas harga yang tinggi?” ungkapnya.

Belum lagi pungutan yang juga dibebankan ke penambang oleh Kementerian Keuangan berupa royalti. Artinya, penambang akan memiliki dua beban iuran. “Pertanyaannya lagi, apakah mau penambang dobel bayar kutipan,” imbuhnya.

Konsep BLU dalam undang-undang energi disebutnya sebagai modal pembangunan nasional. Jika pemerintah akhirnya menyerahkan penanganan sumber energi berdasarkan harga pasar melalui BLU, maka akan bertentangan dengan UUD 1945. Yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Ini (batu bara) sudah milik negara, masa dibeli dengan harga pasar,” tegasnya.

Bob tak ingin menduga-duga bakal seperti apa dana yang dipungut BLU dari penambang nantinya. Namun becermin dari kasus yang sudah ada, sejumlah pengelolaan dana yang dipegang BLU diduga bermasalah.

Bob mencontohkan, BLU yang khusus mengutip dana kewajiban pelayanan umum (KPU). Dikontribusi oleh pelaku bisnis telekomunikasi yang menyumbang sebesar 1,25 persen dari pendapatan usaha. Dana itu disetor kepada pemerintah di setiap kuartal.

“Tapi, dana ini akhirnya disoroti. Yang seharusnya untuk kepentingan internet dan komunikasi di daerah, diduga diselewengkan untuk kepentingan partai politik tertentu,” ucapnya.

Artinya, dia menyangsikan soal pertanggungjawaban BLU. Berbeda dengan royalti yang lebih akuntabilitas dan transparan. Karena langsung dikutip dan dikelola negara melalui kementerian. “Karena itu dengan kasus yang ada sebelumnya, patut dipertanyakan soal akuntabilitas dan transparansi BLU ini,” imbuhnya.

Di sisi lain, dengan dihapuskannya DMO, maka ada risiko kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Karena, meski melalui BLU, jika terjadi disparitas dengan harga pasar yang tinggi, potensi PLN membeli batu bara dengan harga tinggi atau sesuai pasar tetap ada. Sehingga, menaikkan biaya pokok produksi (BPP) listrik. Sementara BPP listrik yang dihasilkan dari energi fosil seperti batu bara dan minyak dan gas, 70 persennya bersumber dari harga bahan bakar. Sementara harga batu bara cenderung fluktuasi.

“Berbeda jika sumber bahan bakarnya dari nuklir, thorium, hidro, dan geothermal. Yang hanya 5 persen dari BPP. Di sini, pentingnya volatilitas yang sampai saat ini jarang sekali dibahas dan diperhatikan oleh banyak pihak,” ungkap Bob.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X