Padi tumbuh subur, tapi sulitnya akses yang membuat mereka jauh dari layanan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan memaksa satu per satu warga Sumbulan, Ponorogo, hengkang. Tersisa masjid lawas yang masih terawat.
EKO HENDRI SAIFUL, Ponorogo
SEJAK 2009, KTP tak lagi mencatat Salamun sebagai warga Sumbulan. Namun, dukuh di Desa Plalangan, Ponorogo, Jawa Timur, itu terus lekat dalam benaknya.
”Meski pindah, atiku sik pancet nang kono (hati saya masih di sana, Red),” kata pria 80 tahun tersebut kepada Jawa Pos.
Salamun dan keluarga termasuk rombongan terakhir yang meninggalkan Sumbulan. Di Ponorogo, ironi menempel pada Sumbulan: tanahnya fertil (subur), tapi dikenal sebagai ”kampung mati”. Satu per satu warganya hengkang hingga kini tak bersisa lagi.
Berdasar cerita bekas warganya, kisah pedukuhan di desa yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Ponorogo itu erat berkaitan dengan tokoh bernama Kiai Murtadho. Konon, ulama tersebut masih keturunan raja Demak. Semasa hidup, sesepuh Sumbulan itu sempat membangun pesantren yang terbuka bagi siapa saja.
Dulu ada lebih dari 30 rumah yang berdiri di Sumbulan, salah satu dukuh di Dusun Krajan. Suasananya ramai. Banyak hunian yang berdiri di sekitar masjid yang dipakai Kiai Murtadho untuk mengajarkan ilmu agama.
Namun, perlahan, jumlah rumah dan penghuni terus berkurang. Hingga akhirnya, hanya tersisa empat griya tanpa penghuni yang masih berdiri di Sumbulan.
Itu pun kondisinya rusak parah. Rumah-rumah yang terbuat dari bambu tak bisa lagi diperbaiki dan ditinggali. ”Rasane pengen nangis ndelok omah-omah iku (Rasanya ingin menangis melihat rumah-rumah itu),” ungkap Salamun.
*
Lalu, apa alasan yang mendasari warga Sumbulan untuk pergi? Mengajak Salamun, Jawa Pos berusaha menemukan jawaban dengan menelusurinya.
Perjalanan ke kampung mati tersebut memang tak mudah. Lokasinya jauh dari jalan desa yang masuk wilayah Kecamatan Jenangan itu. Dibutuhkan waktu sekitar sejam untuk mencapainya.