Puisi untuk Istri

- Selasa, 28 Desember 2021 | 16:48 WIB

Oleh: Sunaryo Broto

Minggu pagi yang cerah di langit Bontang. Berita di TV mengabarkan banjir melanda hampir di seluruh daerah Tanah Air. Jakarta paling parah. Berhari-hari berita itu menghias TV. Tapi tidak dengan kotaku di pinggir hutan dan laut ini, di suatu sudut Kalimantan Timur. Lebih tepatnya di kompleks perumahan sebuah perusahaan tempat aku bekerja.

Ya, aku sudah tinggal sekitar 20 tahun di kompleks itu. Burung-burung menyambutnya dengan tersenyum ceria. Bertengger dari satu dahan ke ranting pohon kersen yang banyak sekali buahnya, kecil-kecil merah. Bernyanyi dan terbang kian kemari. Tupai mengendap-ngendap bersiap untuk meloncat di antara dahan pohon buah yang mendominasi halaman rumahku. Semua menyambut pagi yang cerah. Menjemput rezeki.

Biasanya aku berolahraga ringan jalan cepat mengitari kompleks perumahan yang asri ini. Menikmati udara pagi sepoi-sepoi dengan langit biru yang kentara. Tapi tidak pagi itu. Jam 6 baru saja lewat. Aku masih mengobrol ringan dengan istriku sambil berbaring di tempat tidur. Istriku membuka HP dan membaca semua pesan yang masuk seperti yang biasa dilakukannya tiap pagi. Aku sebenarnya juga mau bersiap untuk jogging.

Lalu istri ke kamar mandi sebentar dan setelah keluar tiba-tiba dia berkata cepat, “Mas aku pusing sekali. Kayaknya AVM-ku pecah ini. Pusing sekali.” Wajahnya menyeringai dan tangannya mengusap-usap kepalanya. Aku kaget dan khawatir. Tubuhnya kutangkap dan dia memelukku. Lalu kubimbing ke tempat tidur. “Pusing sekali,” dia masih mengulanginya sambil matanya terpejam. Wajahnya pucat.

Sambil berbaring dia cepat berkata, “ambilkan obat.” Aku secepat kilat mengambil tumpukan obat di keranjang kecil di atas lemari es di ruang tengah. Istriku seorang dokter dan biasa menyediakan obat-obatan di rumah.

“Yang mana?” kataku bergegas bercampur gelisah.
“Yang ini. Ambil air putih,” katanya tanpa ekspresi. Wajahnya menyiratkan ketakutan sambil tangannya mencengkeram erat lenganku. Cepat aku buka bungkus obat bubuk dan kutabur dalam gelas berisi air putih yang barusan kuambil. Dia duduk dan meminum cepat sekitar setengahnya. Lalu dia berbaring memejamkan mata.

Aku menunggu sebentar sambil meminta konfirmasi, “Bagaimana ibu? Sudah enakan? Atau ke UGD.” UGD RS jaraknya sekitar 5 km dan hanya 15 menit dapat dicapai dengan mobil.

Anak ragil yang sekolah di SD kelas 4 masih tidur di sebelahnya aku bangunkan. Dan kupanggil Lala, anakku nomor dua yang sudah SMA kelas 1, untuk mempersiapkan diri ke RS. Waktu berlari kencang dan aku berbenah cepat. Aku duduk di sebelah istri di ranjang dan tangannya erat memegang tanganku. Aku masih juga bertanya, “Jadi ke UGD?”

Tapi dia sudah tak menjawab dan matanya terpejam. Kutatap dan tanpa ekspresi. Kutanya lagi, ”Ibu dengar?”
Lalu dia menjawab dengan suara yang tidak jelas lafalnya. Aku sadar sesuatu yang tak kuinginkan telah terjadi. Mungkin pembuluh darah di kepala sudah pecah dan darah merembet di otak istriku. Bleg! Tubuhku seperti membeku. Dunia seperti mau runtuh. Perputaran bumi seperti lebih cepat saja. Apa yang dikhawatirkan selama ini akhirnya terjadi. Kupapah istriku bergegas keluar rumah dan masuk mobil. Lala mendampingi di belakang sambil menangis.

Kupacu mobilku serasa terbang. Pohon-pohon seperti berlari menjauhiku. Untung sepi. Di kompleks perumahan, kulihat masih banyak orang jogging pagi menikmati hari. Biasanya aku seperti itu, tapi tidak pagi ini. Dua kali aku melakukan hal yang sama seperti ini. Yang pertama waktu si Lala kejang pada umur setahunan. Saat itu malam hari dan kupacu mobilku kencang.

Sekitar 15 menit aku sudah di UGD RS dekat dengan kompleks perumahan. Petugas langsung cepat tanggap membawa istri dan memeriksanya. Kabel-kabel infus dipasang dan satu dua pertanyaan diajukan. Semua bergegas. Dokter Radiologi dihubungi untuk pemeriksaan CT scan kepala dan dokter syaraf dipanggil untuk konfirmasi berikutnya.

Aku menunggu dengan waswas. Apa yang dapat kulakukan? Kalau sudah suasana begini, tidak banyak yang bisa dilakukan sebagai suami. Semua saya serahkan pada ahlinya dan prosedur rumah sakit. Pasien seperti terdakwa. Juga keluarga pasien. Diam dan menurut. Ditambah kawatir. Dan sedikit bingung.

Istri cepat dibawa ke ruang ICU. Tingkat kesadarannya tadi di UGD sekitar 10 dari 15 level pada kondisi normal. Aku dipanggil dan diajak diskusi. Di situ sudah berkumpul beberapa dokter lain, dokter anestesi dan dokter bedah dan mencari solusi tercepat untuk membawa istri. Kudengar dari dokter, dari pemeriksaan CT scan ada darah sudah ke otak dan termasuk luas.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X