JAKARTA- Kasus kekerasan oknum polisi muncul bergantian. Yang terbaru, dua oknum polisi mengeroyok dua orang remaja di Bidara Cina, Jakarta Timur dan berujung saling lapor. Beragam instruksi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang mendorong reformasi birokrasi di Korps Bhayangkara. Namun, kasus kekerasan polisi yang berkepanjangan mengindikasikan revolusi mental yang tidak berjalan, hanya jadi slogan.
Tak bisa dipungkiri, beberapa bulan belakangan muncul kasus kekerasan yang melibatkan oknum polisi. Yang paling menyedot perhatian, seperti kasus smackdown di Tangerang, kasus bunuh diri Novia Widyasari akibat dipaksa aborsi, dan kini dua anggota polisi yang mengeroyok remaja. Kapolri menunjukkan ketegasannya dengan berbagai instruksi, bahkan ultimatum "potong kepala". Sayangnya, kasus kekerasan yang melibatkan oknum polisi masih berkelanjutan.
Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menuturkan, pekerjaan rumah terbesar di tubuh kepolisian adalah revolusi mental. Yang menjadi kunci utama untuk menekan mentalitas anggota yang arogan. "Revolusi mental berarti perbaikan pendidikan harus dilakukan," tegasnya.
Sayangnya, revolusi mental di Polri bukannya belum berhasil, malahan belum dilaksanakan. Revoluasi mental hanya slogan yang pernah terpampang di samping Gedung Mabes Polri. "Namun membangun sistem yang integral, dari pendidikan, manajemen SDM, hingga pengawasan malah belum," terangnya.
Akuntabilitas dan transparasi yang menjadi indikator berhasilnya revolusi mental hanya formalitas. Namun, tidak benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. "Selama tidak membangun sistem yang benar, setiap pergantian kapolri hanya akan berganti slogan. Ganti gerbong. Masyarakat hanya bisa bermimpi soal kemunculan Jenderal Hoegeng," jelasnya.
Di sisi lain, yang tidak kalah penting adalah sanksi lebih keras untuk aparat yang melanggar. Karena aparat seharusnya memahami hukum, apalagi dalam situasi aparat disorot karena kekerasan berkelanjutan. "Penyelesaian masalah tidak bisa dengan kekerasan harusnya diketahui aparat," tegasnya.
Memang saat ini juga ada semangat restorative justice. Namun, restorative justice itu bisa memunculkan masalah, yakni asumsi munculnya ketidakadilan. "Polisi bisa jadi dianggap memihak yang lebih dominan," urainya.
Dalam kondisi itu tentunya akan jauh lebih baik polisi bertindak tegas kepada pelaku kekerasan. Dari pada dibiarkan dan menggerus kepercayaan publik terhadap penegak hukum. "Kepercayaan publik yang harus diselamatkan," ungkapnya.
Perlu diketahui, kapolri pernah mencopot enam kapolres dan satu dirpolairud terkait kasus kekerasan oknum. Pencopotan itu sebagai bukti dari ultimatum kapolri untuk "potong kepala", bila atasan tidak bisa membenahi bawahan. (idr)