Jumlah tenaga harian lepas (THL) di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penajam Paser Utara (PPU) mencapai ribuan orang. Sistem penggajian tanpa membedakan strata pendidikan, masa tugas, dan beban kerja. Ini menjadi pro-kontra.
PENAJAM–Jumlah THL per 1 November 2021 tercatat 3.437 orang. Mereka ini seperti diwartakan kemarin, terdiri dari pendidikan SD, SMP, SMA, diploma, S-1, S-2, dan menerima gaji sama Rp 3,4 juta per orang per bulan.
Ketua Komisi II DPRD PPU Wakidi, kemarin, pun menanggapi perihal ini. Menurut dia, kebijakan pemerintah daerah terkait THL ini harus bijaksana. “Gaji tidak bisa disamaratakan nilainya, harus memerhatikan tingkat pendidikan, masa kerja, dan dedikasinya untuk kabupaten. Juga tidak dibenarkan secara akademis jika disamaratakan tanpa melihat hal-hal indikator itu tadi,” kata Ketua Komisi II DPRD PPU Wakidi.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPRD PPU ini mengatakan, pihak eksekutif juga harus bersiap-siap mengubah kebijakan tentang belanja pegawai ini. Sebab, pemerintah pusat sedang menggodok undang-undang tentang belanja keuangan daerah yang ada ambang batas maksimal belanja pegawai 30 persen, dan ambang batas minimal belanja modal yaitu 40 persen.
Saat ditanya apakah saat ini kebijakan untuk belanja pegawai dalam persentase yang tinggi? Wakidi menguraikan, APBD PPU 2022 Rp 1,170 miliar yang Rp 918 miliar di antaranya untuk belanja pegawai, dan sisanya bayar kewajiban utang. “Kalau dibuat persentase untuk kebutuhan belanja pegawai pada 2022 mencapai 77,6 persen. Tinggi sekali,” katanya.
Aji Sofyan Effendi, koordinator Tenaga Ahli Bupati PPU, punya pendapat lain. Dia, kemarin, mengatakan, THL ini akumulasi, dan bukan saat pemerintahan sekarang saja. “Memang jumlahnya sangat besar. Pemkab saat ini ingin agar THL diberi kelayakan kehidupan dan penghasilan, dimulai dari titik nol,” ujarnya.
Artinya, lanjut dia, ambil basic dulu di angka Rp 3,4 juta/bulan/orang tanpa memandang tingkat pendidikan, lama masa kerja, jenis kelamin, dan lain-lain. Yang penting hidup layak dulu. Cara pikir kepala daerah memang harus seperti itu.
Menurut dia, negara hadir dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya, dan itu direpresentasikan dengan honor THL tersebut. Bahwa pada akhirnya THL lulusan SD sama dengan S-2, atau yang kerja THL 10 tahun sama dengan satu tahun, maka ini persoalan lain lagi.
“Akhirnya hidup layak bagi calon PNS pasti tidak akan tercapai, yang notabene mereka ini adalah warga PPU, ber-KTP PPU, beranak-pinak di PPU dengan segala suka-duka membangun PPU,” ujar Aji Sofyan.
Perlu dicatat, terang dia, pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan adalah tanggung jawab pemerintah daerah. “Bupati dengan jajarannya memahami kondisi APBD PPU. Namun, harus ada keberanian untuk memotong vicious circle ini,” katanya.
Dia menjelaskan, saat ini yang jadi persoalan adalah kemampuan APBD untuk membayar mereka. “Inilah yang jadi pekerjaan rumah, dan lagi ini baru terjadi di 2021 ini. Sebelumnya fine-fine saja,” jelasnya.
Menurut dia, salah satu faktor yang membuat defisit APBD PPU yang terbesar adalah bayar utang daerah yang jumlahnya sangat fantastis ratusan miliar peninggalan sebelumnya. “Jadi, persoalannya bukan di mahalnya honor THL, tapi utang Pemkab PPU itu yang menggerus APBD, yang tahun ini puluhan miliar harus dibayar,” tandasnya. (ari/kri/k8)