Pengakuan, Seorang Violinis

- Minggu, 19 Desember 2021 | 12:49 WIB

Karya: Esty Pratiwi Lubarman

 

“Aku selalu ingin memberikan bunga dan sebuah waktu di tanganmu. Tapi hanya perpisahan yang bisa aku berikan. Aku terlalu mencintai alunan dawaiku sendiri, An.”

Sebuah kalimat dari seorang laki-laki yang memilih jalannya sendiri. Rambutnya hitam legam, sebentar ia memperbaiki letak kacamatanya kemudian tenggelam dalam alunan dawainya sendiri.

Ketika ia mulai memainkannya, ia menjelma malam yang panjang dan aku selalu tidak ingin beranjak menatapnya. Tangannya seperti menari ketika memainkannya, ia selalu terlihat ajaib. Aku bahkan harus rela berbagi hangat genggaman tangannya dengan benda mati itu.

Aku menyadari, sebuah pemandangan yang indah memang tidak selamanya bisa dinikmati. Terkadang memang harus disimpan sebagai memori. Aku bahkan tidak memiliki gairah untuk memandang hal lainnya selain laki-laki ini. Bukankah begitu tragis hidup ini, sebuah pertemuan akan selalu berakhir dengan caranya sendiri.

Air mata diam-diam membasahi semua hal dalam diriku. Ini membuktikan aku sangat wanita sekali. Dua tahun aku dengan egoisnya percaya bahwa kami akan selalu menjadi sepasang dan menjadi rumah untuk masing-masing jiwa kami. Tapi siapa yang bisa mengira sebuah takdir? kita hanya bisa menunggu sebuah kejutan di setiap perjalanan yang kita buat sendiri.

“Aku tidak butuh bunga, Ar. Aku butuh sebuah kehadiran mata angin untuk bisa sampai ke tujuan yang selalu aku inginkan.”

Ia berhenti memainkannya dan menatapku. Matanya seolah purnama yang akan segera hilang di sebuah pagi yang lapang. Malam ini mungkin aku terakhir melihat sosok yang indah di depanku ini, ia mungkin akan segera pergi dengan sayap-sayap yang ia buat sendiri. Ia memberikan pelukannya.

“Terkadang kamu yang harus menciptakan mata anginmu sendiri, An. Perjalananmu tetap harus ada tanpa aku ataupun tidak, kamu yang berhak atas masa depanmu sendiri. Aku juga melakukan hal yang sama. Aku bukan tidak mencintaimu, tapi aku juga harus membuat perjalananku sendiri. Perjalanan bersama benda yang kamu selalu bilang tidak bernyawa itu. Benda itu ajaib, An, ia bahkan selalu menawarkan hidup untukku.”

Aku hanya bisa memeluknya dengan erat, setelahnya mungkin aku tidak akan pernah merasakannya lagi.

“Aku memang butuh cinta seorang perempuan, tapi benar dua hal itu sangat berbahaya untuk laki-laki. Aku mungkin bajingan untukmu, An. Tapi ada yang harus aku buktikan kepada hidup melalui musikku,” ia melepaskan pelukan itu, menyentuh wajahku pelan, membereskan air mata yang berantakan di sana.

“Apakah selama ini aku terlalu mengekangmu, Ar? Betapa bodohnya jika ternyata aku melakukannya,” aku mendengar suaraku sendiri yang parau.

“Kupikir tidak, An, apa mungkin aku terlalu mencintaimu. Aku tidak ingin sebuah cinta yang kemudian menumbuhkan sebuah hutan liar untuk kita berdua. Pada akhirnya itu bukan cinta, An, itu hanya keegoisan kita sebagai manusia.”

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X