Jembatan Suramadu telah menggeser popularitas Pelabuhan Kamal sebagai penghubung Madura dengan Jawa. Sepi, kapal berkurang jauh, apalagi penumpang. Namun, setidaknya pelayanan penjualan tiket semakin baik dengan sistem nontunai.
SHABRINA PARAMACITRA, Bangkalan
SUHU udara di ujung Pulau Madura sore itu terasa hangat. Perahu-perahu nelayan yang bersandar tenang di bibir pantai seolah sedang beristirahat, menunggu waktu untuk kembali berlayar bersama tuannya. Angin bergerak lembut, menggoyangkan perahu-perahu nelayan itu dengan pelan.
Di sisi kanan perahu-perahu kecil, berjejer warung dan pedagang kaki lima yang menjajakan makanan dan minuman ringan. Pada Minggu sore lalu itu di Pelabuhan Kamal, Bangkalan, Madura, beberapa orang duduk di atas dipan kayu yang menghadap ke arah perahu dan rumah-rumah nelayan. Beberapa orang lainnya duduk di kursi, menghadap meja makan sambil menikmati mi instan dan pentol kencap yang dipesannya. Mereka menunggu kapal datang untuk menyeberang ke Jawa.
Berkilo-kilometer dari warung itu, tampak Jembatan Suramadu yang membelah Selat Madura. Saya yang menikmati pemandangan di Pelabuhan Kamal pada Minggu (21/11) sore itu tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan tiga anak. Satu laki-laki dan dua perempuan. Kira-kira usia mereka 8–10 tahun. Mereka menarik-narik ujung lengan kiri-kanan pakaian saya. ”Mbak, minta mbak,” kata mereka. Saya kasih.
”Kalian namanya siapa?” tanya saya.
”Aku Angel. Ini Abi, ini Ika,” kata seorang yang perempuan.
”Bukan Angel! Itu Irma, bukan Angel!” kata seorang yang lain lagi, laki-laki. Matanya mendelik ke arah Angel (atau Irma?), seolah ingin bilang, ’Jangan nakal kamu!’
Pelabuhan Kamal memang tak sejaya dulu. Sejak Jembatan Suramadu beroperasi pada 2009, sebagian besar penumpang kapal beralih lewat jembatan. Apalagi, sejak jembatan itu digratiskan pada 2018, makin sepilah pelabuhan.
Jembatan penyeberangan yang menghubungkan penumpang dari loket ke dermaga pelabuhan tak lagi dipakai. Sampah-sampah bertebaran di tangga jembatan. Gedung kantor ASDP Ferry di sisi timur pelabuhan sepi, tak terawat. Atapnya bolong-bolong. Lantai 2 gedung itu juga selalu kosong. Lantainya kotor, beberapa sisi pada atapnya bolong, dan dinding-dindingnya dicoret-coreti oleh entah siapa.
Lantai 2 di gedung ini dulu disewakan untuk berbagai pertemuan. ”Kalau nikah, banyak orang yang sewa di sini. Terakhir ada yang sewa itu pada 2017,” kata Asshari, petugas sekuriti ASDP Ferry Kamal, Bangkalan.
Saya berkenalan dengannya atas bantuan Kasubnit Lidik Satpolairus Polres Bangkalan Bripka Yeni Fauzi. Kantor Bripka Yeni berada di sisi kiri gedung ASDP Ferry yang kosong itu. Hanya di bagian sinilah yang tampak hidup. Ada kantor kecil dan meja tamu, lengkap dengan dapur dan meja biliar.