Banyak karya dan sumbangsih tenaga telah Zulhamdani AS berikan terhadap Balikpapan. Sederet penghargaan di kancah nasional dan internasional juga sudah diraihnya.
ULIL MUA'WANNAH, Balikpapan
SECANGKIR kopi susu yang tersaji di meja hampir habis. Seorang pria berambut gondrong menemani Zulhamdani berbicara. Ketika menyadari kehadiran awak media, Zul–sapaan akrab Zulhamdani–menyambut. Pertemuan itu berlangsung bulan lalu di Umak Kafe yang lekat dengan nama Lamin Pohon, tempat para pencinta seni sering berkumpul di Balikpapan.
Pada medio 1990–2000-an di Taman Monpera yang lokasinya bersampingan dengan Balai Sudirman, Balikpapan setiap sore selalu ramai. Anak-anak berseragam SMP atau SMA maupun berpakaian bebas selalu mengelilingi pria itu.
“Ayah.” Begitu anak-anak itu memanggilnya. Suaranya tegas. Lugas. Wajahnya yang serius terkadang bisa menampilkan sisi humoris. Dia yang selalu on time terkadang tak sungkan memberi hukuman bagi yang datang terlambat.
Penampilannya sekarang sedikit berbeda. Dia tak lagi mengenakan patino hat yang menjadi ciri khasnya. Jambang putih memagari dagunya dibiarkan tumbuh subur. Empat tahun terakhir kabar tentangnya jarang terdengar. Pembengkakan jantung, hipertensi, dan diabetes membuat langkah serta geraknya terbatas.
Sudah dua tahun terakhir pula dia meninggalkan rumahnya yang dulu berada di Jalan Martadinata, Balikpapan. Kehidupan bak air laut yang mengalami pasang-surut. Kini dia menetap di Kompleks PU, Parapatan, Balikpapan Selatan.
Hidup sebagai seniman. Besar dari keluarga demokratis. Demikian pula dia membebaskan putra-putrinya memilih jalan hidup. Dari ketiga anaknya tak ada yang memilih melanjutkan dunia seni. Putra pertama dan keduanya bekerja di bidang swasta. Sedangkan si bungsu masih duduk di kelas 2 SMK.
“Tidak. Saya tidak menulis lagi. Ada sih tawaran buat menulis biografi, tapi tidak saya ambil. Mungkin karena usia jadi daya ingat terbatas. Saya khawatir malah salah-salah. Anak-anak saya juga memang saya sarankan tidak jadi seniman,” ujarnya dengan tersenyum kala ditanya mengenai karya terbarunya.
Zul menuturkan, dari dulu Balikpapan bukan lah kota seni. Melainkan industri. Menjadi tantangan besar bagi para seniman. Membentuk publik seni memang sulit, karena mindset masyarakat Kota Minyak pun berbeda dengan daerah yang sudah kental dengan seniman seperti Jogjakarta atau Jakarta.
Meski sebenarnya banyak potensi dapat digali. Namun, lagi-lagi terbentur oleh wadah dan dukungan pemerintah yang dirasakan hingga kini masih kurang terhadap perkembangan seni di Balikpapan. Terlebih, mereka yang seniman murni. Tidak ada dukungan membuat para seniman bergairah. Gedung Kesenian juga tak dapat digunakan. Membuat seniman kian tersisih. Harus berjuang sendiri. Terlebih di kala pandemi ini.
Di Kota Minyak kini seniman yang tersisa tidaklah banyak. Hanya segelintir orang bertahan. Sering yang dia jumpai, mereka ialah pencinta seni yang sekadar ikut-ikutan.