Adi Setyawan
ASN pada KPPN Samarinda
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi, sampai dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi (tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum. Ironinya, korupsi pada era sekarang sudah sampai pada struktur pemerintahan terbawah, yaitu desa.
Bahkan, korupsi di tingkat desa banyak terjadi ketika negara memberlakukan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Desa diberikan kewenangan yang besar untuk menyusun dan melaksanakan pembangunan, yang di dalamnya disertai dana desa dengan jumlah yang cukup besar. Kondisi tersebut dijadikan kesempatan oleh kepala desa untuk korupsi.
1) Faktor Regulasi Kewenangan Pembangunan Desa
Berlakunya UU Desa telah mereposisi kewenangan pembangunan desa yang dari awalnya merupakan kewenangan pemerintah daerah diubah menjadi kewenangan pemerintah desa. Hal ini menjadi arti penting bagi desa di mana desa yang merupakan kesatuan masyarakat hukum diberikan kembali hak-hak untuk menentukan arah pembangunannya sebagaimana diatur dalam UU Desa Pasal 18.
Namun, dalam praktiknya, yang menjadi kelemahan UU Desa terletak pada pemberian kewenangan pembangunan desa lebih kepada pemerintah desa, tanpa dibarengi penguatan hak masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan desa, maupun peningkatan peran lembaga lainnya seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal tersebut secara otomatis berimplikasi pada besarnya kewenangan kepala desa apabila dibandingkan dengan pihak lainnya dan memosisikan kepala desa sebagai figur sentral dan dominan dalam pembangunan desa.
2) Faktor Kepala Desa
Besarnya kewenangan kepala desa sebagai pimpinan tertinggi pemerintah desa memberi peluang kepada kepala desa untuk berperilaku koruptif. Kepala desa melakukan penyelewengan terhadap dana desa yang diberikan secara langsung kepada pemerintah desa.
Korupsi yang dilakukan oleh kepala desa tidak lepas dari adanya sikap segan aparatur desa yang berada di bawahnya untuk menegur atau bahkan melaporkan tindakan korupsi tersebut kepada pihak berwajib, sehingga apabila kepala desa melakukan korupsi, sikap yang dipilih yaitu diam.
Pemicu lainnya yaitu adanya keinginan untuk memperkaya diri, hal ini ditambah dengan sikap tamak dan rendahnya integritas dan moralitas yang semakin mendorong perilaku koruptif.