Ketelatenan meneliti serta kegemaran menulis Prof Adi Utarini didapat berkat bimbingan sang ayah. Sudah menelurkan puluhan karya riset dan publikasi ilmiah internasional.
ILHAM WANCOKO, Sleman
ADI Utarini menempuh S-3 saat itu. Namun, dengan sengaja dia melamar menjadi asisten juru malaria desa (JMD). ”Saya harus bisa bergaul dan menyelami apa yang mereka lakukan,” ujarnya kepada Jawa Pos.
Di Jepara, Jawa Tengah, pada 1999 itu, Prof Uut –demikian sapaan guru besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, tersebut– tidak sedang mencari pendapatan tambahan. Dia tengah melakukan penelitian bertema malaria. Dan, JMD adalah juru tombak pemberantasan malaria di desa-desa.
Riset di Jepara itu hanya satu di antara sekian banyak penelitian sepanjang karier akademik perempuan 56 tahun tersebut. Yang membawanya ke dalam daftar 10 peneliti paling berpengaruh di dunia versi jurnal ilmiah Nature pada Desember 2020.
Juga masuk daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia 2021 versi majalah terkemuka Time berkat penelitian Utarini dan tim tentang Wolbachia yang dilakukan sejak 2011. Mereka menginokulasi nyamuk penyebab demam berdarah Aedes aegypti dengan Wolbachia. Yaitu, bakteri yang tidak berbahaya bagi manusia, tetapi bisa mencegah nyamuk menularkan demam berdarah melalui gigitannya.
”Ayah saya yang mengenalkan kesederhanaan serta ketekunan dalam meneliti dan menulis,” kata putri Prof M. Ramlan (almarhum), guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, tersebut.
Ketekunan dan kegigihan itu pula yang dia tunjukkan di Jepara. Sebagai asisten, dia harus bekerja sama dengan para JMD yang saat itu mayoritas lelaki dari beragam latar belakang.
Selain itu, dalam praktiknya, tentu saja Utarini harus membawa berbagai peralatan JMD dan mengendarai sepeda motor berkeliling di desa-desa. ”Mencari warga yang katisen atau menggigil dan terindikasi sakit malaria,” ungkapnya.
Setelah penelitian itu selesai, silaturahmi antara Utarini dan para JMD tidak putus begitu saja. Beberapa kali mereka yang sangat membantunya melakukan penelitian itu diajak jalan-jalan ke Jogjakarta. ”Piknik ke Jogja bareng-bareng. Hubungan kekeluargaan terjalin sangat baik. Ini yang sebenarnya mematangkan sebagai peneliti,” jelas perempuan yang menyelesaikan S-3 di Universitas Umea, Swedia, tersebut.
Kisah penelitian lain terjadi pada 2004. Saat itu Utarini meriset strategi DOTS (directly observed treatment short course) dalam penanganan tuberkulosis (TB). Program itu hanya dijalankan di puskesmas. ”Pertanyaannya tentu mengapa hanya puskesmas,” katanya.
Padahal, strategi DOTS efektif dalam menemukan dan mengobati pasien TB. Dengan beragam fasilitas kesehatan yang ada seperti klinik dan rumah sakit, apakah ada kesulitan menerapkan strategi DOTS. Utarini lalu memulainya dengan mencari data dokter praktik, klinik, hingga bidan dan perawat yang berpraktik di Jogjakarta. Masalahnya ditemukan. Ternyata dinas kesehatan belum tentu mempunyai data-data tersebut.