Januari, SMA Bisa Belajar Tatap Muka

- Minggu, 28 November 2021 | 12:26 WIB
ilustrasi
ilustrasi

SALAH satu pilar keberhasilan pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah guru. Sayangnya, pada awal pelaksanaan PJJ, banyak guru yang gagap dalam menyampaikan materi kepada siswa. Akibat dari kurang mengusai teknologi. Hingga tak memiliki kemampuan mengajar secara daring. Keterbatasan perangkat, jaringan hingga kuota internet menambah panjang daftar kesulitan guru mengelola PJJ.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menjelaskan, meski pada awal pelaksanaannya banyak ditemukan banyak masalah selama PJJ, dalam perkembangannya, kebijakan pemerintah bisa meringankan beban guru. Salah satunya dengan munculnya kurikulum darurat. “Dan terbaru muncul kurikulum sekolah penggerak (KSP),” kata pimpinan komisi yang membidangi pendidikan itu.

KSP adalah program Merdeka Belajar yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim pada 1 Februari 2021. Program itu dimulai pada tahun ajaran 2021/2022 di 2.500 sekolah yang tersebar di 34 provinsi dan 111 kabupaten/kota.

Kurikulum itu berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi dan karakter. Semua itu diawali dengan kepala sekolah dan guru yang unggul. “Dengan kurikulum yang berubah, guru dituntut untuk bisa menerapkan metode belajar mengajar yang baru. Harus lebih kreatif,” ucapnya.

Politikus Golkar itu juga menilai, dalam perjalanan waktu elemen pendidikan seperti guru dan pelajar sudah bisa menyesuaikan diri dengan adanya PJJ. Namun, persoalan tetap ada. Utamanya pada ketersediaan perangkat penunjang PJJ. Karena dalam berbagai kasus, banyak guru yang kesulitan mengajar karena terdapat perbedaan pada kemampuan siswa. Baik itu materi maupun psikologis.

“Tak semua siswa hingga kini punya gawai sendiri. Harus bergantian sama orangtua mereka. Artinya hingga kini belum terjadi pemerataan perangkat penunjang PJJ,” ucapnya.

Sejak awal PJJ hingga kini, guru selain mengajar siswa, juga masih mengambil peran untuk “mengajarkan” orangtua. Karena tidak semua orangtua memiliki waktu dan kemampuan mengawasi dan mendampingi anak saat PJJ.

Bahkan dirinya pernah menemukan, saat asesmen nasional, guru tidak bisa menghubungi siswanya. Karena orangtuanya memutuskan untuk pindah tanpa memberi tahu pihak sekolah. “Orangtua pun kalau bertanya sesuatu terkait PJJ kepada guru. Jadi, dobel kerjanya guru ini,” ungkapnya.

Wakil rakyat asal Kaltim itu pun menemukan fakta, tanggung jawab guru selama PJJ tidak hanya berlaku secara umum. Melainkan individu siswa. Dengan faktor-faktor yang dijelaskannya tadi, guru akhirnya dituntut untuk sensitif dan mampu menjalin komunikasi yang baik dengan siswa dan orangtua mereka.

Jangan sampai, akibat PJJ, siswa kehilangan “masa sekolah”. Karena tidak sedikit, siswa yang akhirnya putus sekolah. Baik karena tidak mampu secara ekonomi maupun akibat ketidakpedulian hingga kekerasan yang diterima siswa oleh orangtua selama belajar di rumah. “Di sisi lain guru harus memastikan learning loss ditekan seminimal mungkin,” ujarnya.

Hetifah mengakui pada awal pelaksanaan PJJ, perhatian pemerintah terhadap guru masih minim. Namun, seiring perubahan kebijakan dan perbaikan sistem, dirinya menyebut, saat ini sudah menjadi lebih baik. Contoh kecilnya soal bantuan kuota internet untuk guru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Di mana sebelumnya kuota hanya bisa digunakan untuk menyampaikan pembelajaran melalui platform tertentu, kini lebih fleksibel untuk guru mengakses materi pembelajaran di internet. “Tetapi pekerjaan rumah pemerintah belum selesai. Salah satunya soal perangkat penunjang PJJ tadi,” tuturnya.

Karena itu, komisinya kini tengah mendorong pemerintah mengalokasikan dana alokasi khusus (DAK) fisik dan non-fisik khusus untuk pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bahkan alokasi itu sebaiknya juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui APBD. “Saya lihat di APBD Kaltim dan Balikpapan sudah ada. Ini bagus,” ungkapnya.

Selain itu, pemerintah masih harus melakukan pemerataan terhadap pemerataan jumlah guru yang disebut masih timpang di berbagai daerah di Indonesia. Juga meningkatkan kualitas guru dengan pelatihan terutama yang berhubungan dengan metode PJJ. Karena tidak menutup kemungkinan, selama pandemi belum dinyatakan berakhir, PTM terbatas bisa kembali ke PJJ.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X