Sampai Selasa (23/11), situasi di Sudan belum terkendali. KBRI di Kota Khartoum memantau secara berkala perkembangan situasi di negara tersebut.
KONFLIK masih berlanjut setelah penggulingan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdook oleh militer. Situasi di negara berpenduduk 43.120.843 jiwa pada 2018 itu, kini tak menentu. Bahkan, dampaknya meluas.
Ketidaknyamanan tidak hanya dirasakan oleh warga lokal Sudan, tetapi juga warga pendatang. Di antaranya, puluhan mahasiswa asal Kaltim, termasuk dari PPU, yang kuliah di Negeri Jumhuriyah as-Sudan itu.
“Saat ini rakyat merasa dikhianati oleh PM Hamdook yang sempat dikudeta. Rakyat akan terus melakukan demonstrasi berkala sembari menunggu kesepakatan yang belum dikeluarkan karena masih menunggu nama-nama dewan kabinet transisi pemerintahan Sudan,” kata Burhanudin Robbani, mahasiswa asal Gunung Intan, Kecamatan Babulu, PPU, yang kuliah di International University of Africa, kemarin.
Dia mengatakan, pihaknya terus mengikuti perkembangan yang terjadi di negara tempatnya kuliah. Ia merasa memerlukan referensi agar segera mengetahui apa yang terjadi di republik yang mayoritas berpenduduk etnis Arab Sudan (70 persen), dan sisanya adalah etnis Fur, Beja, Nuba, dan Fallata itu.
Meskipun sedang berada di sebuah negara yang tengah berkecamuk, mahasiswa semester 3 Jurusan Dirasat Islamiyah itu bersama rekan-rekannya cukup lega, menyusul kesiagaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kota Khartoum, ibu kota Sudan, yang berkala melakukan imbauan.
“Setiap terjadinya demonstrasi, KBRI selalu melakukan monitoring agar seluruh WNI tetap stay di rumah, dan jika ada masalah langsung menghubungi hotline KBRI,” katanya.
Dampak lainnya karena perpecahan di Sudan yang masih terasa hingga sekarang, lanjutnya, adalah transportasi. “Angkutan kota ataupun minibus untuk ke kampus sulit didapatkan, karena banyaknya blokade jalan menuju kampus, terutama mahasiswa Kaltim yang kuliahnya di Alquran Karim and Islamic Science University,” ujarnya.
Begitu juga dalam hal keamanan. Dengan keadaan seperti ini tentu sangat memengaruhi ekonomi masyarakat bawah Sudan. “Tidak dimungkiri tindak kriminal juga meninggi, seperti pencurian, penjambretan ke kalangan mahasiswa Indonesia,” katanya.
Itu seperti yang dialaminya, bulan lalu. Dia jadi korban penjambretan. Bahkan sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit akibat bagian kepalanya robek setelah dihantam batu oleh penjambret yang hingga kini belum tertangkap itu.
Dia dan rekan-rekannya mahasiswa Kaltim di Sudan berharap, kekacauan yang terjadi dalam beberapa pekan ini segera berakhir. Sehingga, mahasiswa segera melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengembangkan karya seperti saat 17 Agustus 2021.
Mahasiswa Indonesia kolaborasi dengan mahasiswa Kaltim di Sudan memproduksi film drama musikal berjudul Mahakarya Pusaka. “Semoga setelah Sudan aman kami bisa berkreasi lagi untuk memperkenalkan Indonesia di negeri orang,” tuturnya. (ari/kri/k8)