Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, Pelegalan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi?

- Rabu, 24 November 2021 | 09:39 WIB

Suwardi Sagama

Dosen, Peneliti, dan Konsultan Hukum

 

PERGURUAN tinggi yang merupakan tempat untuk melahirkan cendekiawan intelektual dihebohkan oleh oknum yang diduga melakukan perbuatan asusila pada mahasiswinya. Sebelumnya, ada juga oknum pengajar di salah satu perguruan tinggi yang melakukan kekerasan seksual pada anak di bawah umur yang masih bersekolah. Kekerasan seksual seperti gunung es, membeku di atas dan di bawah permukaan.

Kekerasan seksual yang terlihat di atas permukaan dengan segera dapat dilakukan pendampingan dan penegakan hukum. Sementara kekerasan seksual yang berada di bawah permukaan tidak terlihat dan terabaikan, kecuali korban yang mengungkapkan dengan alat bukti yang lengkap. Korban takut bercerita karena kekerasan seksual yang dialami merupakan aib dan/atau pelaku berasal dari orang yang menguasainya, sehingga khawatir nyawanya terancam. 

Pada 30 Agustus 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Peraturan ini sebagai upaya mengembalikan muruah perguruan tinggi sebagai ladang intelektual bukan “sarang” kekerasan seksual.

Namun, peraturan tersebut menuai pro-kontra dalam memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Misalnya pada Pasal 5 Ayat (2) huruf b menyebutkan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban. Kata “tanpa persetujuan” dapat dimaknai sebagai jalan terjadinya perbuatan seksual apabila korban menyatakan setuju. 

Apakah Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 melegalkan kekerasan seksual di perguruan tinggi?

Pengajar adalah subjek yang menjadi perhatian di lingkungan perguruan tinggi. Baik atau buruknya mahasiswa/I dalam memahami materi tergantung dari pengajarnya. Bahkan perilaku mahasiswa/I juga dapat dipengaruhi oleh pengajarnya. Ada yang meniru secara langsung, ada pula memodifikasi perilaku yang dipraktikkan oleh pengajar di dalam kelas dan luar kelas.

Pengajar mempunyai kewajiban memberikan pengajaran yang baik. Ketika terjadi suatu perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pengajar kepada mahasiswa, berdampak juga pada perilaku mahasiswa. Tenaga kependidikan atau pimpinan lembaga mahasiswa tidak jarang dipercaya menjadi mentor bagi mahasiswa untuk mencapai prestasi di kampus. Ketika terjadi tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga kependidikan atau pimpinan lembaga mahasiswa, siapa lagi yang akan dipercaya oleh mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Ini pertanda mundurnya moral di lingkungan perguruan tinggi.

Perguruan tinggi tetap menjaga kemurnian pengetahuan menciptakan sumber daya manusia yang berintegritas. Pada penanganan kekerasan seksual dapat bersinergi dengan lembaga profesional yang membidangi penindakan kekerasan seksual. Ada kepolisian dan lembaga perlindungan perempuan/anak yang akan melakukan upaya penindakan ketika di lingkungan perguruan tinggi terjadi kasus kekerasan seksual.

Mekanisme penanganan dan pencegahan diatur dengan baik saat terjadi kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat menerima laporan kekerasan seksual yang terjadi. Namun, laporan diteruskan kepada pihak eksternal yang sudah melakukan kerja sama. Hal ini dapat menjaga independensi proses penyelesaian kasus, apalagi sebuah kasus yang masuk melibatkan wilayah struktural.

Memberikan sanksi yang ringan dalam kasus kekerasan seksual akan mempermudah jalan kekerasan seksual berikutnya. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sudah mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan seksual dengan sanksi pidana. Pasal 14 mengatur pemberian sanksi administrasi bagi pelaku kekerasan seksual. Sanksi paling ringan adalah peneguran dan sanksi terberat adalah pemberhentian kerja.

 Meskipun sanksi administrasi hanya diberlakukan dalam lingkungan internal, tidak memberikan rasa keadilan kepada korban. Perbuatannya sekali, bagi korban kekerasan seksual dirasakan seumur hidup. Meskipun Pasal 18 menyebutkan bahwa pengenaan sanksi administrasi tidak mengesampingkan sanksi administrasi lain dan sanksi pidana, namun dapat menjadi celah pembelaan bagi pelaku.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X