Diam-Diam BBM Naik, kok Bisa?

- Rabu, 17 November 2021 | 11:47 WIB

Romdani

Wapemred Kaltim Post

 

 

LORONG-lorong kampus yang biasa jadi lokasi diskusi, belakangan terlihat sepi. Bisa jadi karena pandemi. Atau karena alasan lain.

Dulu persoalan bahan bakar minyak (BBM) jadi isu yang enak “digoreng-goreng” oleh mahasiswa. Naik lima ratus rupiah saja per liter, gejolaknya di mana-mana. Rapatnya juga ke mana-mana hingga penjuru fakultas. Bahkan, organisasi eksternal turut terlibat. Mereka menyusun teknis lapangan atau dulu kami sering menyebutnya teklap. Teklap biasa dilakukan sehari sebelum demonstrasi.

Namun, sejauh yang saya tahu, kini diskusi menganalisis bahan bakar minyak (BBM) kurang terdengar dari kalangan mahasiswa. Baik itu subsidi maupun non-subsidi. Dulu premium disubsidi. Sekarang hanya solar yang disubsidi.

Belakangan antrean kendaraan banyak mengular di SPBU. Mereka mengantre solar. Tapi diskusi terkait itu oleh mahasiswa di kampus juga kurang terlihat. Atau jangan-jangan tidak ada. Malah kini heboh kasus Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang dianggap sebagai patung istana. Kritikan itu dilancarkan saat orang nomor dua RI itu berkunjung ke Samarinda, beberapa waktu lalu. Persoalan itu membuat mahasiswa diminta klarifikasi di kepolisian.

Terlepas dari itu, antrean solar di SPBU bukan perkara baru. Hampir saban tahun persoalan tersebut tak kunjung ada solusinya. Bahkan sudah berjalan bertahun-tahun. Kuota disebut aman, faktanya pengendara kesulitan menemukan solar di pom bensin. Banyak yang menduga, solar “diminum” oleh alat berat di lokasi tambang.

Modusnya beragam. Ada pengetap yang sengaja bolak-balik SPBU untuk membeli solar. Ada pula SPBU yang secara langsung menjual solar bersubsidi ke tambang. Tentu pengusaha tergiur dengan harga yang lebih mahal dijual ke tambang ketimbang melayani konsumen di SPBU. Bahkan, ada yang lebih ekstrem dari itu. Mungkin di tulisan yang lain, akan saya bahas. He-he-he.

Intinya selama masih ada celah mengeruk keuntungan yang lebih besar, maka kesempatan itu yang akan diambil. Apalagi disparitas harga solar bersubsidi dan nonsubsidi juga terbilang jauh. Ditambah pengusaha yang memanfaatkan lemahnya pengawasan aparat atau regulator.

Belakangan premium bakal dihapus. Bila demikian, apalah bedanya dengan kenaikan harga BBM. Namun pemerintah punya gaya baru menaikkan harga BBM itu. Lebih smooth. Tanpa ribut. Tanpa protes dari publik. Caranya lebih cerdas. Jatah premium mula-mulanya dikurangi. Alasannya, bensin itu tidak ramah lingkungan. Oktannya rendah dengan angka Research Octane Number (RON) 88. Tidak standar Euro-IV.

Di dunia hanya empat negara termasuk Indonesia yang masih menggunakan BBM RON 88. Namun, pemerintah tidak membeber, siapa ketiga negara lainnya. Sementara oktan yang disarankan sesuai standar Euro-IV adalah minimal RON 90. Yakni, pertalite.

Kini bukan hanya dikurangi kuotanya, premium seperti tenggelam. Sulit ditemukan. Kalaupun SPBU itu menjual premium, biasanya stoknya cepat habis. Terbaru, program Langit Biru mulai dihapuskan. Padahal, tidak semua SPBU melayani program itu. Hanya pom bensin yang sudah ditunjuk.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X