Yang Hamilin Suaminya, Lapornya ke Lurah, Langsung Semua Gratis

- Jumat, 12 November 2021 | 14:01 WIB
Wahyudi Anggoro Hadi
Wahyudi Anggoro Hadi

Pemdes Panggungharjo di bawah kendali Wahyudi Anggoro Hadi membebaskan pemeriksaan kehamilan dan biaya kelahiran serta menerapkan kebijakan satu rumah satu sarjana. Survei terakhir menunjukkan bahwa 73 persen warga bahagia dan ditargetkan bisa mencapai 100 persen pada 2024.

 

ILHAM WANCOKO, Bantul

 

DITA Indah Damayanti bersyukur benar bisa melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi. Dengan biaya yang ditanggung pemerintah desa (pemdes) tempatnya bermukim bersama keluarga.

”Dibiayai setiap semester dengan meminta surat perincian biaya dari kampus,” kata mahasiswi Politeknik Negeri ATK Yogyakarta tersebut kepada Jawa Pos.

Pemerintah Desa (Pemdes) Panggungharjo, Bantul, Jogjakarta, yang dipimpin Wahyudi Anggoro Hadi sejak 2011 memang menjalankan program satu rumah satu sarjana. Pemdes membiayai satu anak dari setiap kepala keluarga untuk bisa bersekolah hingga menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. ”Hingga saat ini, sudah ada sekitar 150 anak yang dibiayai pendidikan hingga sarjana,” ungkap Wahyudi.

Persyaratannya, kata Dita, juga sangat mudah. Hanya butuh tanda tangan RT setempat dan orang tua serta fotokopi kartu keluarga dan KTP. ”Juga tanda diterima dari kampus,” ucapnya.

Setelah mengubah kinerja perangkat desa, Wahyudi memang mengalihkan fokus pada pekerjaan utamanya: meningkatkan kesejahteraan warga. Pendapatan asli desa (PAD) otomatis harus dinaikkan. Yang akhirnya bisa digunakan untuk membiayai semua persoalan mendasar dari warga Panggungharjo.

Dari hanya satu unit BUMDes pengelola sampah, Wahyudi mulai mencari potensi pendapatan lainnya. Semua aset desa kemudian dihitung ulang. Lantas, dilakukan renegosiasi dan nasionalisasi aset desa.

Dia menceritakan, salah satu renegosiasi itu terkait dengan sebuah tanah bengkok milik desa yang digunakan sebagai gudang. ”Awalnya, desa hanya mendapat Rp 12 juta per tahun dengan hitungan Rp 2.500 per meter persegi,” jelasnya.

Renegosiasi berhasil digolkan setelah ditemukan fakta bahwa kontraknya bermasalah. Regulasi dilanggar sendiri oleh pemdes sebelumnya. ”Biaya kontrak lahan dibuat kecil, tapi oknumnya dapat bagian. Ini perilaku korup,” tegasnya.

Akhirnya, dengan renegosiasi ulang itu didapatkanlah nilai yang baru: Rp 320 juta per tahun. Penyewa, kata Wahyudi, mau renegosiasi karena percaya uang tersebut digunakan untuk kepentingan desa. Bayarnya langsung ke bendahara desa, bukan ke kepala desa.

Langkah lainnya adalah nasionalisasi aset desa. Semua tanah bengkok yang diambil alih oleh pemdes digunakan sebagai badan usaha milik desa (BUMDes). Panggungharjo akhirnya memiliki lima unit BUMDes.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X