Untuk Advokasi Keadilan Iklim, Saat yang Tepat bagi Presiden

- Jumat, 5 November 2021 | 15:01 WIB

Edi Suhardi

Analis Minyak Sawit Berkelanjutan

 

 

Akhir Oktober tahun ini menandai titik kritis bagi Presiden Joko Widodo di panggung global, karena ia akan menjadi presiden negara-negara Kelompok Dua Puluh (G20), sebuah forum internasional yang anggotanya mencakup lebih dari 80 persen produk domestik bruto (PDB) dunia dan 60 persen dari populasi planet ini.

Peristiwa ini bahkan lebih penting karena mendahului peristiwa penting lainnya, konferensi para pihak ke-26 (COP26) untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) dari 31 Oktober hingga 12 November di Glasgow, Inggris.

Secara historis, terlepas dari skeptisisme tentang hasil konkret KTT G20 dan COP, peristiwa tersebut dipandang sebagai jalan untuk membangun komitmen global terhadap pembangunan dan lingkungan. Selanjutnya, peristiwa tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kontribusi kepresidenan G20 dalam agenda aksi perubahan iklim global.

Lebih penting lagi bagi Indonesia, Presiden Jokowi harus bertanggung jawab untuk mendorong perubahan wacana dan memperkenalkan platform baru tentang keadilan iklim dan keberlanjutan, sebuah istilah untuk menggambarkan fokus pada distribusi yang adil dari manfaat dan beban keberlanjutan dan yang membingkai perubahan iklim.

Agenda etis untuk aksi perubahan iklim harus memasukkan kebutuhan pembangunan dan hak asasi manusia melalui pendekatan tiga cabang. Pertama adalah bahwa tindakan perubahan iklim perlu mengatasi penghasil emisi tertinggi, sektor energi, daripada menghindarinya.

Kedua, batas emisi dan rencana pengurangan harus didasarkan pada target emisi per kapita. Terakhir, kebutuhan dan aspirasi negara berkembang untuk pertumbuhan ekonomi harus dihormati, dan dorongan untuk ikut campur dalam agenda iklim negara lain harus dikendalikan.

Saat ini isu keberlanjutan dan agenda perubahan iklim didorong dan ditetapkan oleh negara-negara maju atas nama mitigasi perubahan iklim global. Akibatnya, agenda setting menjadi timpang untuk melindungi kepentingan negara-negara kaya, sementara menempatkan negara-negara miskin dan berkembang sebagai pihak yang menerima isu-isu tertentu.

Persepsi tentang sumber emisi karbon dioksida yang dikaitkan dengan perubahan iklim didominasi oleh isu-isu lingkungan yang terjadi di negara berkembang, seperti penggundulan hutan, yang dipandang sebagai pendorong utama pemanasan global.

Isu alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, areal pertanian, dan peternakan telah menjadi pokok dari hiruk-pikuk media yang mengarah pada gerakan anti-sawit. Hal ini telah mendistorsi fakta nyata bahwa penyumbang utama perubahan iklim adalah emisi dari sektor energi.

World Resource Institute (WRI) melaporkan bahwa sektor energi, termasuk listrik, transportasi, manufaktur, konstruksi, dan bahan bakar fosil lainnya, menyumbang 70 persen dari total emisi global, merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Ironisnya, tidak ada kampanye skala besar yang menganjurkan untuk membatasi produksi atau penggunaan bahan bakar fosil mentah atau pembatasan gas alam dan lainnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X