Nyaris Tak Mengenal Libur, Tiap Hari Layani Pasien

- Kamis, 4 November 2021 | 11:47 WIB
dr Niken Dayu Anggraini
dr Niken Dayu Anggraini

Memimpin sebuah puskesmas bukan pekerjaan mudah. Apalagi di usia yang terbilang muda. Mengatur jajaran yang lebih senior. Tapi bagi dr Niken Dayu Anggraini, selalu ada jalan keluar.

 

ULIL MUA'WANNAH, Balikpapan

 

PRIMUM non nocere adalah ungkapan bahasa Latin yang artinya first, do no harm. Atau dalam bahasa Indonesia, pertama, jangan merugikan. Itu merupakan ungkapan populer dalam dunia kedokteran. Penggalan kutipan itu diambil dari Sumpah Hippocrates. Secara kontekstual terjemahannya mensyaratkan bahwa keselamatan pasien adalah hal yang utama. Akan selalu diutamakan.

Karena itu adalah prinsip dasar yang diajarkan saat menjalani pendidikan kedokteran. Mengungkapkan aturan etis yang mendasari pengobatan. “Pertama-tama dan utama jangan mencederai pasien. Dokter harus memikirkan kemungkinan merugikan dari tindakan yang akan dilakukan. Apapun kesulitan saya harus mengutamakan keselamatan pasien,” ucap dr Niken Dayu Anggraini, saat ditemui pekan lalu.

Orangtuanya pun pernah berpesan, setiap kesulitan pasti akan mendapatkan dua kebaikan. Jangan ditolak, tetap jalani karena balasannya jauh lebih baik.

Niken telah menjadi kepala Puskesmas Karang Jati, Balikpapan sejak 2017. Di mana ia harus memimpin 20 pegawai, 10 di antaranya ialah tenaga kesehatan (nakes). Tentu tidak mudah menjadi kepala puskesmas. Terutama kala lonjakan kasus Covid-19 beberapa bulan lalu.

Juli-Agustus, Kota Minyak sempat mendapatkan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4. Karena tingginya angka pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Ditambah varian delta. Membuat ratusan orang terpapar memerlukan perawatan medis sesegera mungkin.

Ia harus merelakan waktu istirahat maupun hari liburnya. Dering telepon. Notifikasi pesan tidak pernah berhenti. Tengah malam selalu terjaga. Harus selalu sedia menjawab serta datang ke puskesmas sekalipun jarum jamnya telah menunjukkan pukul 01.00 Wita.

“Pasien saat itu bisa sampai 500 orang. Satu petugas harus mengawasi 50 pasien. Banyak pasien terpaksa menjalani perawatan di rumah, karena rumah sakit dan tempat isolasi saat itu penuh,” tutur perempuan yang menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya pada 2008 itu.

Kondisi sekarang jauh lebih siap dibandingkan sebelumnya. Secara sistem pun sudah disiapkan. Masyarakat sudah dididik menjadi Satgas Covid-19, membantu dalam pengawasan isolasi maupun rujukan. Kelompok yang dilatih cukup tahu bagaimana, kapan harus dirujuk, dan penegakan protokol kesehatan di lingkungan masyarakat.

Sudah lebih ringan. Menurutnya, yang terpenting ialah menjaga koordinasi jangan sampai terputus. Bila memang nakes kewalahan, maka satu sama lain harus mampu saling backup. Tidak boleh ada pasien telantar. Termasuk untuk penyediaan oksigen dan obat telah tersedia.

“Kami memang memiliki tabung oksigen tapi terbatas. Itu pun hanya berukuran 5 kg. Hanya bertahan 4 jam dan harus terus diisi ulang. Kala itu beruntung beberapa RT juga dukung dan saling menggalang dana. Sehingga, warga yang tidak mampu disewakan oksigen,” ungkap perempuan yang lahir di Malang pada 37 tahun lalu itu.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Raffi-Nagita Dikabarkan Adopsi Bayi Perempuan

Senin, 15 April 2024 | 11:55 WIB

Dapat Pertolongan saat Cium Ka’bah

Senin, 15 April 2024 | 09:07 WIB

Emir Mahira Favoritkan Sambal Goreng Ati

Sabtu, 13 April 2024 | 13:35 WIB
X