Peneliti mencatat kerusakan hutan parah akibat deforestasi oleh perusahaan pemegang konsesi pertambangan, perkebunan, HPH, dan perkebunan kayu di Desa Muara Lambakan.
PENAJAM - Sinyalemen penyebab banjir bandang di Kecamatan Long Kali, Paser, oleh Greenpecae Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim diakibatkan deforestasi di hulu Sungai Telake, ternyata, ada benarnya. Misalnya, banjir yang terjadi di Muara Lambakan, Long Kali, yang baru beberapa hari ini surut. Desa yang terletak di hulu Kecamatan Long Kali ini sejak beberapa tahun lalu sesuai data Forest Watch Indonesia (FWI) dikepung oleh konsesi.
Ahmad Hamdani dan Mufti Fathul Barri yang melakukan penelitian di desa tersebut menemukan fakta, perusahaan pemegang hak penguasaan hutan (HPH) di Desa Muara Lambakan menurut peta lampiran SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.2382/ Menhut-VI/BRPUK/2015, ada empat perusahaan. Kemudian, menyusul satu perusahaan lagi yang menggunakan total luas lahan di desa itu 37.168,98 hektare.
FWI membagi rata-rata penguasaan lahan oleh lima perusahaan yang memiliki konsesi di Desa Muara Lambakan, menguasai lahan desa lebih dari 7.000 hektare. Total luas lahan yang dikuasai oleh perusahaan dari seluruh wilayah Desa Muara Lambakan adalah 37.168,98 hektare atau 79,64 persen dari seluruh luas desa. Sisa dari lahan tersebut, yaitu 9.502,11 hektare atau 20,36 persen dikuasai sekaligus dimiliki oleh negara. Artinya, secara de jure, masyarakat Muara Lambakan sama sekali tidak memiliki tanah.
Kedua peneliti itu juga mencatat kerusakan hutan parah akibat deforestasi oleh perusahaan pemegang konsesi pertambangan, perkebunan, HPH, dan perkebunan kayu. Masyarakat kecil, kata keduanya, tidak mungkin melakukan kerusakan sampai separah itu karena kalaupun mau, masyarakat tidak akan mampu karena mereka tak memiliki alat canggih seperti alat berat yang dimiliki perusahaan.
Data FWI, di Muara Lambakan luas hutan alam terus menurun. Setidaknya terekam pada 2009, 2013, dan 2016. Pengurangan luasan dari 2009–2013 mencapai 296 hektare, yaitu dari 27.661 hektare menjadi 27.365 hektare. Pengurangan luas lahan menjadi drastis pada 2016, yaitu tersisa 25.718 hektare. Jika dihitung dari 2013, dalam waktu tiga tahun, luas hutan alam berkurang 1.647 hektare.
Peneliti dari FWI menegaskan, rusaknya alam oleh aktivitas HPH tidak terasa langsung oleh masyarakat. Dampak kerusakan hutan terasa beberapa tahun setelah perusahaan HPH beroperasi. Namun, masyarakat merasa yakin bahwa eksploitasi hutan oleh HPH menjadi penyebab. Saat ini dampak kerusakan hutan semakin dirasakan sejak hadirnya perusahaan perkebunan kayu di Muara Lambakan.
Banjir akibat deforestasi? Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Paser Abdul Basyid dalam kesempatan dengan Kaltim Post, pekan lalu, membenarkan. “Banjir itu dampak dari pembukaan lahan di hulu sungai yang dilakukan beberapa tahun lalu. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dan dampaknya baru bisa dirasakan sekarang,” kata Abdul Basyid.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas dan Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang kepada media ini mengatakan, untuk mengatasi banjir ini pemerintah harus tegas melakukan evaluasi kepada perusahaan pemilik izin pemanfaatan lahan. Apabila ditemukan perusahaan sebagai penyebab banjir, izin harus dicabut.
Sementara perusahaan ilegal harus diproses melalui penegakan hukum. Sejauh ini, limpasan banjir dari Long Kali itu menimpa wilayah tetangga, yaitu Desa Sumber Sari, Babulu, Penajam Paser Utara (PPU). (ari/rdh/k16)