Syarat Karantina Bisa Hambat Wisatawan

- Sabtu, 16 Oktober 2021 | 11:18 WIB

JAKARTA -Syarat karantina selama 5 hari bagi para pelancong yang datang dari luar negeri untuk berwisata di Bali dan Kepulauan Riau (Kepri) masih dianggap terlalu berat dan bisa menghambat pertumbuhan demand pariwisata. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno mengatakan bahwa pemberlakuan karantina relatif menghambat demand pariwisata, tak hanya di Indonesia namun juga di negara-negara lain. ”Di negara-negara lain juga masih memberlakukan karantina di negara-negara asal ketika wisman kembali ke negaranya. Jadi ini masih menjadi penghambat demand traveler,” ujarnya (14/10).

Mengenai pembukaan pariwisata Bali, Pauline juga menilai bahwa pemberlakuan karantina selama lima hari akan menjadi pertimbangan khusus bagi calon wisatawan. Sebab, hal tersebut akan menambah durasi traveling dan cost yang cukup signifikan bagi mereka. ”Ada baiknya dipertimbangkan Vaccinated Travel Lane (VTL) seperti di Singapura atau Reciprocal Travel Corridor Arrangement, agar wisman tidak perlu karantina. Di Singapura, ketika dibuka tambahan 8 negara tanpa karantina, website langsung down saking banyaknya consumer yang excited,” tambah Pauline.

Pauline mengatakan bahwa dengan adanya kabar pembukaan ini, Astindo berupaya meningkatkan kapasitas SDM dan intens memonitor situasi terkini. ”Terutama ketika ada info mengenai border suatu negara dibuka. Kita aktif mengadakan webinar dan travel mart bagi para stakeholder, supaya mereka bisa update info ke konsumen,” urainya.

Pauline menyebutkan bahwa laporan dari Astindo Bali, belum ada peningkatan trafik wisman yang terlihat. Mengenai penerbangan, juga belum ada info penerbangan langsung yang menuju Bali. ”Simulasi-simulasi dan persiapan terus kita lakukan. Kita belum tahu juga bagaimana riil pembukaan kongkritnya jika belum ada maskapai yang terbang langsung ke Bali,” pungkasnya.

Epidemiolog dan Peneliti Global Health Security And Pandemic dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa semua keputusan pada dasarnya memiliki sisi plus dan minus. Tidak ada nol resiko termasuk dalam penentuan 5 hari karantina.

Dicky menyebut, bahwa sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh negara Selandia Baru untuk mengetes panjang skrining karantina untuk pelaku perjalanan dengan 5 hari, 7 hari, 10 hari dan 14 hari. “Terbukti skrining dengan karantina 5 hari itu punya tingkat kebobolan 25 persen,” jelas Dicky pada Jawa Pos (14/10). Apalagi kata Dicky, penelitian memang membuktikan bahwa ada jendela waktu dimana tes PCR umumnya efektif dilakukan pada hari kelima dan keenam dari infeksi. Jurnal Annals of Internal Medicine (ACP Journals) menyebut bahwa selama 4 hari pertama infeksi kemungkinan false negatif PCR masih tinggi.

Dari hari ke satu sampai hari ke 5 dimana biasanya gejala mulai timbul, kemungkinan fasle negatif menurun dari kisaran 100 persen pada hari pertama, menjadi 67 persen pada hari ke-4. Ini pun masih menyisakan 33 persen kemungkinan false negatif. “Ini masih jumlah yang cukup besar,” kata Dicky.

Untuk itu, idealnya kata Dicky pada hari pertama hingga kelima wisatawan menjalani karantina, kemudian tes PCR pada hari keenam, dan hari ketujuh, wisatawan yang bersangkutan sudah bisa beraktivitas di luar ruangan. Hal ini kata Dicky tidak sepenuhnya mengurangi kesenangan wisatawan tersebut. “Karena dia tetap bisa menikmati liburannya di hotel tempat karantina, makananya masih dikirim. Kemudian dia bisa beraktivitas di pantai atau di lingkungan hotel yang sudah ditentukan dan dijaga,” jelas Dicky.

Pada prinsipnya, kata Dicky perlu dilakukan percobaan dan penelitian lebih lanjut sampai pemerintah Indonesia menemukan formulasi yang benar-benar efektif dan cocok di terapkan di situasi tersebut. ”Harus ada evaluasi dua minggu sampai 4 minggu kedepan dari penerapan karantina ini. Karena bagaimanapun karantina 5 hari itu adalah bagian ujung dari satu upaya mencegah pelancong membawa virus ke Indonesia,” katanya.

Dicky juga mengatakan bahwa pemerintah jangan melupakan faktor transmisi virus yang kriterianya ditetapkan oleh WHO dalam 4 level. Penetuan negara yang boleh masuk berwisata ke Bali jangan hanya didasarkan pada positivity rate atau jumlah kasus yang rendah. Tapi juga dihitung level transmisi virusnya.

Level transmisi virus ini juga bisa dijadikan pijakan untuk menentukan panjang karantina. Untuk negara bagian seperti Queensland Selandia Baru misalnya yang statusnya sering berada di level 1 dengan indikator diantaranya 28 hari tanpa kasus baru. Kemudian negara lain yang level 2 yang mengalami penyebaran dari kasus impor bukan transmisi dari masyarakat.

“Nah negara-negara ini kalau wisatawannya datang tidak perlu dikarantina. Asal sudah vaksinasi penuh, sudah 2 minggu berajarak dari vaksinasi keduanya, hasil tes nya negatif pada saat keberangkatan dan keadatangan dan penerbangannya direct flight,” katanya.

Dicky mengatakan pemerintah bisa menberlakukan kewajiban karantina bagi negara-negara dengan transmisi pada level 2 atau 3. ”Kalau 1 nggak perlu lah karantina. Tapi jangan menerima negara yang level transmisinya sama dengan kita yakni level 4 transimisi komunitas,” kata Dicky.

Upaya apapun kini dilakukan untuk mempercepat kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali. Pihak pengelola Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar bahkan menerapkan sejumlah insentif bagi penerbangan ke Bali. Lewat pernyataannya kemarin, untuk mendukung pemulihan sektor pariwisata Bali seiring rencana pembukaan pintu internasional bagi turis mancanegara, PT Angkasa Pura I mengumumkan pemberian stimulus atau insentif bagi maskapai nasional maupun asing yang melakukan penerbangan internasional dari dan menuju Bali.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X