Krisis Energi, Tiongkok Terancam Inflasi

- Sabtu, 16 Oktober 2021 | 11:01 WIB
Masih banyak industri di China yang memakai energi batu bara.
Masih banyak industri di China yang memakai energi batu bara.

BEIJING– Krisis energi di Tiongkok berdampak panjang. Terlebih ia dibarengi dengan kenaikan harga komoditas yang menjadi bahan dasar produk. Imbasnya, harga pabrik barang-barang yang dihasilkan oleh negeri panda tersebut melonjak tajam. Dilansir dari BBC, kenaikan tertinggi tercatat bulan lalu.

Data resmi menunjukkan bahwa Indeks Harga Produsen (IHP) September naik 10,7 persen dibandingkan bulan yang sama tahun lalu. Itu adalah kenaikan tertinggi sejak IHP direkam mulai 1995. Indeks Harga Konsumen (IHK) di lain pihak hanya naik 0,7 persen di rentang yang sama. Namun situasi itu diperkirakan tidak akan lama. Saat ini produsen menekan keuntungan yang mereka dapat seminim mungkin. Tapi itu tentu tidak bisa dilakukan terus menerus. Beberapa bulan lagi harga barang di tangan konsumen akan melonjak drastis.

Krisis listrik di Tiongkok terjadi karena negara tersebut mulai beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu juga karena permintaan yang tinggi dari industri dan harga batu bara yang melambung tinggi. Banyak perusahaan pembangkit listrik di Tiongkok masih menggunakan batu bara.

Pemadaman listrik karena krisis suplai energi telah mengganggu banyak industri. Utamanya yang membutuhkan suplai jumlah besar seperti produsen semen, peleburan baja dan alumunium. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk meredakan krisis listrik. Salah satunya meminta para penambang batu bara untuk meningkatkan output dan mengelola jumlah listrik yang digunakan oleh pabrik-pabrik besar. Namun itu belum cukup. Karena berbagai kendala tadi sebagian perusahaan memilih menghentikan sementara proses produksi. Beberapa di antaranya adalah suplier brand global seperti Apple

Tiongkok merupakan eksportir terbesar di dunia. Kenaikan harga di negara tersebut bisa berdampak secara global. Jika harga di Tiongkok melonjak, maka harga produk yang sama di dunia juga akan melambung. Itu bisa memicu inflasi di negara-negara yang mengimpor produk dari negara yang dipimpin oleh Xi Jinping tersebut. Di Inggris dan Amerika, inflasi sudah bergerak naik sejak beberapa bulan terakhir.

Sementara itu, masalah keuangan juga membelit AS. Mereka terancam tidak bisa membayar hutang alias default. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah mengusulkan peningkatan batas utang hingga USD 480 miliar atau setara Rp 6,7 kuadriliun. RUU kenaikan batas utang itu pada Selasa (13/10) disetujui oleh DPR AS atau House of Representative. Senat sudah menyetujuinya pekan lalu.

Presiden AS Joe Biden diharapkan segera menandatangani RUU tersebut. Yakni sebelum 18 Oktober. Menteri Keuangan AS Janet Yellen sudah memperingatkan Kongres bahwa Negeri Paman Sam akan mencapai batas maksimal hutangnya di tanggal tersebut.

Kenaikan batas hutang diperlukan saat pajak yang diperoleh dari masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pemerintah. Peminjaman dilakukan lewat Departemen Keuangan dengan cara mengeluarkan surat hutang atau obligasi. Obligasi pemerintah AS selama ini dianggap investasi yang paling aman dan bisa dipercaya.

Gedung Putih saat ini memang membutuhkan banyak uang. Banyak program terkait pandemi maupun perubahan iklim. Sebagian hutang itu nanti juga dipakai untuk menutupi biaya pemotongan pajak dan program pengeluaran selama pemerintahan Donald Trump.

Sebelum DPR meloloskan RUU tersebut, sempat ada kehawatiran AS bakal melakukan wanprestasi untuk pertama kalinya. Jika itu terjadi, dampaknya luar biasa pada perekonomian global. Namun kubu Demokrat bisa mengendalikan situasi dan mempengaruhi anggota Republik di Senat. Pemimpin Republik di Senat Mitch McConnell menyampaikan pada Biden bahwa dia tidak akan bekerjasama dengan Demokrat untuk menaikkan pinjaman lagi kedepannya.

"Jika Kongres gagal untuk memperpanjang batas utang AS maka pasar keuangan global dan ekonomi akan terbalik. Bahkan jika AS bisa menyelesaikan dengan cepat, orang Amerika akan membayar wanprestasi ini selama beberapa generasi," bunyi laporan Moody's Analytics baru-baru ini.

Kenaikan batas hutang itu hanya memberi AS ruang untuk bernafas sementara. Mereka harus segera meloloskan RUU APBN untuk mencegah shutdown. Batas waktunya hanya sampai 3 Desember mendatang. AS sudah beberapa kali mengalami shutdown. Saat itu terjadi berbagai tagihan tidak bisa dibayar. Termasuk gaji PNS. (sha/bay)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X