PENAJAM–Banjir yang terjadi pada enam kecamatan, Kabupaten Paser jadi sorotan Greenpeace Indonesia. Greenpeace adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang bergerak pada organisasi lingkungan global.
LSM ini memiliki cabang di lebih 40 negara dengan kantor pusat di Amsterdam, Belanda. Greenpeace mengamati masalah banjir dan kaitannya dengan kerusakan hutan yang terjadi di berbagai tempat, terutama di Paser, pengelolaannya tidak bisa dilakukan dengan pendekatan administrasi.
“Karena banjir saat ini intensitasnya meningkat dan cakupannya meluas di Pulau Kalimantan yang karakteristiknya ada eco regional yang berbasis pada daerah aliran sungai (DAS). Jadi pendekatannya harus berbasis pada DAS,” kata Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas.
Dia menegaskan, banjir di Paser bisa terhubung dengan rusaknya Pegunungan Meratus atau Pegunungan Lumut yang berbeda secara administrasi tapi terhubung secara ekologis.
Pegunungan Meratus yang disebut Arie Rompas itu terletak di tenggara Pulau Kalimantan, serta membelah Kalsel jadi dua. Pegunungan ini membentang sepanjang kurang lebih 600 kilometer persegi dari arah barat daya-timur laut dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalteng dan Kaltim.
Sementara itu, Pegunungan Lumut terletak di Paser. Ia menyebutkan perizinan pembukaan lahan, misalnya, dilakukan Kalsel. Namun, dampak banjirnya dirasakan Kaltim. Ini, kalau ditelisik hanya bertemu pada kewenangan pemberian izin saja, terjadi debat kusir, dan tidak muncul solusi.
“Yang terjadi saat ini di Paser itu sama seperti yang terjadi tahun lalu di Kalsel. Kemudian tahun ini juga di Kalteng. Kalau di Samarinda kan hampir tiap tahun sudah sering terjadi,” katanya.
Peristiwa ini terjadi, lanjut dia, akibat model-model ekonomi yang merusak alam. Semua wilayah yang masih memiliki hutan itu dieksploitasi dan saat ini sudah terjadi dampak banjir karena daya dukung dan daya tampung alam sudah menurun. Sehingga terjadi banjir. “Kalau musim kemarau terjadi kebakaran hutan,” ujarnya.
Ditanya tentang solusi konkret agar ke depan tidak lagi terjadi banjir, Arie Rompas mengatakan, kebijakan pembukaan lahan dan kemudian terjadi deforestasi perizinannya diberikan oleh pemerintah.
“Izin itu yang harus dievaluasi. Menghentikan izin-izin dan mengevaluasi izin yang berkaitan dengan catchment area (daerah tangkapan air) harusnya dicabut,” katanya.
Atau, lanjutnya lagi, perusahaan telah melakukan kerusakan pada wilayah tangkapan air, wilayah-wilayah perlindungan ini harus direstorasi, dikembalikan kepada keadaan seperti semula. “Itu yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, sih,” katanya.
Pemerintah, kata dia, punya kewenangan untuk mendesak perusahaan penerima izin. Pada saat dilakukan evaluasi dan ditemukan pelanggaran maka pemerintah bisa mencabut izin. Kepada perusahaan yang ditengarai ilegal pemerintah bisa menutup dan meneruskan kepada proses penegakan hukum.
Seperti diwartakan, banjir besar sepekan terakhir melanda enam kecamatan di Paser, yaitu Kecamatan Long Kali, Muara Komam, Long Ikis, Muara Samu, Batu Sopang, dan Pasir Belengkong. Dari enam kecamatan itu banjir di Long Kali yang terparah pada tahun ini. Tercatat, 1.055 rumah terendam, 1.290 kepala keluarga (KK) atau 4.640 jiwa mengungsi.
Penyebab banjir disebut-sebut curah hujan intensitas tinggi memicu Sungai Telake (Long Kali), Sungai Kandilo (Muara Komam), dan Sungai Sekurau (Long Ikis) meluap akibat tak mampu menahan tingginya debit air. Sehingga, menyebabkan banjir di wilayah tersebut sejak Senin, 4 Oktober 2021. (ari/kri/k8)