Peliput: M Ridhuan, Nofiyatul Chalimah, Catur Maiyulinda
Batu bara menjadi komoditas dengan kenaikan harga paling tinggi tahun ini. Mencatat rekor dalam kurun 10 tahun terakhir. Kondisi itu seharusnya bisa memberikan dampak positif terhadap perekonomian Kaltim.
AWAL pandemi Covid-19 seperti jadi kuburan bagi karyawan tambang. Wabah itu memukul sektor pertambangan. Akhirnya, banyak tenaga kerja yang dirumahkan bahkan dipecat. Kini setelah harga batu bara acuan melonjak tinggi, nyatanya tidak berpengaruh signifikan terhadap tenaga kerja pertambangan.
Meminjam data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga batu bara acuan (HBA) pada Agustus 2021 sebesar USD 130,99 per ton. Harga itu kembali meningkat pada sebulan kemudian menjadi USD 150,03 per ton. Bahkan bulan ini, batu bara masih perkasa yang harganya mencapai USD 161,63 per ton.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim Slamet Brotosiswoyo menjelaskan, meski harga emas hitam acuan saat ini tinggi, pengaruhnya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak signifikan. Sebab, sejak awal, kondisi pertambangan batu bara di Kaltim, khususnya yang berstatus Izin usaha pertambangan (IUP) sudah tidak menggairahkan.
“Harga naik, produksi meningkat. Namun, batu bara sifatnya padat alat, bukan padat karya. Jadi efeknya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak terlalu berpengaruh,” kata Slamet, Jumat (8/10).
Namun, efek domino tetap ada. Dengan meningkatnya produksi, terjadi peningkatan permintaan terhadap keperluan alat. Slamet menyebut, pengusaha daerah yang bergerak di bidang alat berat sejak harga batu bara naik mendapatkan efek positif.
Selain itu, pengusaha logistik seperti makanan dan bahan bakar ikut merasakan manisnya harga si batu hitam. “Teman-teman pengusaha yang terseok-seok dari awal 2015 hingga 2018 lalu kini ada sedikit merasakan dampak positif,” ujarnya.
Tetapi secara luas, efek ekonominya tidak dirasakan Kaltim. Itu karena kebanyakan perusahaan bukan milik pengusaha lokal. Akibatnya perputaran uangnya tidak di Kaltim. Meski di atas kertas, naiknya harga batu bara memengaruhi produk domestic bruto (PDRB) Kaltim, namun emas hitam di Benua Etam belum banyak berperan dan memberikan manfaat bagi rakyat Kaltim.
“Ini karena kebijakan pemerintah pusat yang tidak menguntungkan daerah. Di mana pemerintah daerah tidak bisa mengatur hingga mengawasi pengelolaan batu bara. Kebijakan itu harusnya seimbang antara pusat dan daerah,” harapnya.
Pemprov Kaltim juga seharusnya mengambil peran aktif. Pasalnya, batu bara menjadi komoditas terakhir yang bisa diandalkan mendongkrak kesejahteraan masyarakat setelah masa kejayaan perkayuan dan minyak dan gas (migas) mendominasi ekonomi daerah. Jika momen itu dilewatkan, dikhawatirkan Kaltim akan terpuruk.
“Kalau sampai era batu bara ini berakhir, apa lagi yang akan tersisa untuk pemerintah, masyarakat, dan pengusaha daerah. Jadi kalau bisa, daerah diberi kesempatan,” tuturnya.