Lewat telehealth, satgas memantau kesehatan pasien isoman secara virtual dan pemeriksaan langsung. Bakal dikloning Kementerian Kesehatan ke sejumlah daerah sebelum dinasionalkan.
Ilham Wancoko, Jogjakarta
SIRENE mobil ambulans memberikan ancaman psikologis tersendiri bagi Wahyudi, warga Kota Jogja yang rumahnya terletak di pinggir Jalan H.O.S. Tjokroaminoto. Hampir tiap jam, suara serupa terdengar.
Setelah hampir sebulan sirene mobil ambulans terus mengaung, pada sekitar pertengahan Agustus, ketakutan mulai menggelayutinya. ”Bagaimana tidak, sejam dua kali sirene terdengar,” ujarnya.
Memang jumlah kasus Covid-19 pada periode Juli–Agustus di Jogjakarta mencapai puncaknya, yakni 37.385 kejadian. Namun, sejatinya semakin seringnya sirene mobil ambulans itu terdengar juga mengartikan bahwa penanganan pasien Covid-19 terus dilakukan.
Salah satu yang memengaruhi peningkatan intensitas sirene mobil ambulans itu adalah Satgas Penebalan Nakes dan Mitigasi Hulu (SPNMH) Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Satgas itu berjibaku menangani persebaran Covid-19 di Jogjakarta. ”Kami dibentuk setelah Gubernur DIJ Hamengkubuwono X meminta penambahan nakes untuk kasus Covid-19 di Jogja,” tutur Koordinator Operasional SPNMH Jagaddhito Probokusumo yang juga seorang dokter residen di RSUP dr Sardjito, Jogjakarta.
Dengan jumlah anggota mencapai 250 orang, namun kasus aktif Covid-19 mencapai 37 ribu, satgas yang dipimpin Danrem 072/Pamungkas Brigjen TNI Ibnu Bintang Setiawan itu mau tidak mau memilih untuk membenahi yang paling darurat. ”Kalau satgas menargetkan penurunan Covid-19, terlalu muluk. Karena jumlah kasusnya begitu tinggi,” tutur Jagad, panggilan akrab Jagaddhito Probokusumo.
Akhirnya, satgas memilih untuk menangani yang paling mengkhawatirkan. Yakni, angka kematian pasien Covid-19 saat isoman. Angka kematian pasien Covid-19 saat isoman di Jogjakarta memang sempat kritis.
Pada Juni, warga yang meninggal saat isoman mencapai 698 orang. Pada Juli, jumlahnya masih kritis dengan 639 orang. ”Saat itu kami berupaya turunkan angka ini,” tuturnya.
Dengan target itulah, satgas tersebut bekerja sekaligus berpikir. Satgas dibagi menjadi orang yang bekerja di lapangan dan yang menentukan strategi untuk bisa menurunkan angka tersebut. ”Akhirnya, satgas ini membuat telemedicine, tapi nama yang tepat adalah telehealth,” katanya.
Telemedicine hanya memantau pasien isoman secara virtual. Namun, telehealth memantau secara virtual dan tatap muka untuk pasien isoman plus dengan pendekatan komunitas berbasis puskesmas dan elemen masyarakat. ”Home visit untuk pasien isoman,” ujarnya.
Hasilnya sungguh efektif. Jumlah pasien isoman yang meninggal di Jogjakarta turun drastis. Setelah satgas dibentuk 29 Juli 2021, pada Agustus jumlah pasien isoman yang meninggal turun menjadi 178 orang. ”Pada September ini, jumlahnya jauh lebih sedikit. Hingga 23 September, ada enam orang yang meninggal,” terangnya.