Muhamad Fadhol Tamimy
Sipir Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tenggarong
Memahami penjara tentu tidak akan pernah lepas dengan dinamika overkapasitas yang dialaminya. Dalam setiap munculnya permasalahan penjara, baik itu kerusuhan, pelarian, penyimpangan hingga kebakaran selalu ada penyerta yang disebabkan oleh kondisi overkapasitas yang terjadi di lapas. Memang hal ini terdengar seperti alasan semata, namun memang begitulah kenyataan adanya.
Kondisi psikologis narapidana yang terkadang labil, seringkali memicu keributan di antara narapidana itu sendiri. Keributan pun muncul ditengarai beberapa sebab, misalnya saja belum selesainya masalah internal penerimaan diri atas keterpenjaraan dirinya, namun mereka sudah harus dihadapkan lagi dengan peliknya permasalahan lain yang dialami.
Entah kondisi rumah tangga yang semrawut pasca di penjara, harta benda yang banyak disita, hingga ditinggal nikah tunangan nun jauh di sana. Sebagai pelengkap rasa penderitaan adalah kondisi penuh sesak yang dirasa. Bahkan hanya untuk hal sepele, misalnya tidak sengaja menyenggol kaki temannya, sudah cukup memicu perkelahian diantara sesamanya.
Sebagai sipir penjara, kondisi tersebut adalah suatu hal yang sering dijumpai, bahkan menjadi penengah pertengkaran narapidana yang seabrek banyaknya, adalah hal yang mafhum dihadapi. Ancaman nampak maupun tak nampak di depan mata harus dihadapi dengan tangan kosong, karena memang dalam menjalankan tugas, sipir penjara tidak dibekali dengan senjata api ataupun pentungan yang menjadi alat pelindung diri.
Kemampuan persuasi dan komunikasi yang menjadi senjata utama dalam mengendalikan masa di dalam penjara. Boro-boro memaksimalkan lembaga pemasyarakatan sebagai fungsi pembinaan, sudah tidak ada perkelahian dan lapas dalam kondisi aman saja, rasanya sudah berucap syukur. Hingga motto waspada jangan-jangan menjadi sarapan keseharian dalam menjalankan tugas.
Dari mottonya saja kita dituntut untuk selalu siap siaga atau bahasa lain memang dibentuk untuk selalu curiga, agar setiap detail gangguan kantib dapat diatasi. Alih-alih menguatkan relasi sebagai seorang pembina narapidana, para petugas lebih memilih untuk membangun tembok jarak, untuk menjaga kewaspadaan dan tentu saja keselamatan.
Ini semua terjadi karena memang tidak nalarnya rasio antara jumlah yang dijaga dengan para penjaganya. Sehingga menjaga jarak untuk waspada, rasanya lebih relevan dibandingkan dengan melakukan pembinaan. Namun ini bukan berarti, para petugas tidak melakukan pembinaan sama sekali, karena pembinaan pun tetap berjalan, seiring sejalan dengan keadaan overkapasitas yang ada.
Tentu urusan overkapasitas ini telah banyak dipikirkan para pemangku kebijakan, walaupun memang implementasi masih jauh panggang dari api. Karena menyelesaikan kondisi overkapasitas, tidak bisa diselesaikan hanya dari hilir-nya saja dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan.
Ia harus ditangani mulai dari hulu atau awal dari sebuah system pemidanannya itu sendiri dalam hal ini adalah undang-undang pemidanaan dan alur proses klasifikasi “mentersangkakan” seseorang.
Jika sedikit-sedikit tersangka, sedikit-sedikit hukum penjara, tentu membangun lapas ala seribu candi pun rasanya tidak akan selesai masalah overkapasitas lapas saat ini. Jika proses dari hulu telah diselesaikan, maka masalah hilir dari benang kusut overkapasitas lapas, akan sedikit demi sedikit terurai. Tentunya jika overkapasitas sudah dapat ditanggulangi, maka pembinaan sebagai salah satu core business Lembaga Pemasyarkatan dapat dimaksimalkan.
Hingga akhirnya para narapidana dapat menyadari kesalahan dan tidak mengulangi perbuatan melanggar hukumnya. Dan tentunya mereka dapat menjadi manusia susila yang berkemandirian.
Memanfaatkan Kemajuan Teknologi Dalam Sistem Keamanan Lapas
Seiring sejalan dengan kemajuan teknologi yang ada, tentu bukan hal yang tidak mungkin untuk menerapkannya pada sistem keamanan di Lembaga Pemasyarkatan. Pemanfaatan AI (Artificial Intelligencce) menjadi krusial, untuk meminimalisir resiko human error ataupun kurangnya SDM yang memang penulis rasakan di lapangan.