Lewat Wayang Kardus, Taring Padi Menyebar Pesan dan Dukungan

- Senin, 27 September 2021 | 13:54 WIB

Tema lingkungan, kudeta militer, sampai woro-woro Agustusan, semua bisa dilakukan lewat wayang kardus. Workshop keliling yang telah dan sedang dilakukan Taring Padi akan ditampilkan dalam pameran di Jerman.

 

FAHMI SAMASTUTI, Surabaya

 

LEWATNYA, pesan, berita, dan dukungan bisa disampaikan. Tentang macam-macam: mulai penolakan kudeta militer, lingkungan, hingga woro-woro Agustusan.

”Bisa juga untuk seruan di kampung, misal dilarang buang sampah sembarangan,” kata Raung Singosari, salah seorang anggota Taring Padi.

Bebe, sapaan akrabnya, membincangkan wayang kardus. Kreasi yang semula dilatari semangat pemanfaatan sampah dan kemudian menjadi metode bercerita.

Mulai awal bulan ini, Taring Padi, komunitas yang didirikan di Jogjakarta pada 1998, melakukan tur workshop wayang kardus ke tiga kota di Jawa Timur: Jember, Malang, dan Surabaya. Ada lima orang dari Taring Padi yang bergerak dengan dibantu jejaring komunitas-komunitas setempat.

Sejak awal berdiri, Taring Padi dikenal lewat karya seni yang kritis kepada penguasa. Di ”kandangnya”, Taring Padi melejit lewat mural dan poster. Selain lewat visual, beberapa anggota yang mahir bermusik tergabung di Sekar Madjoe dan DK, singkatan Dendang Kampungan.

Meski merupakan komunitas, Taring Padi sangat terbuka pada kegiatan kolektif lain maupun yang digagas masyarakat. ”Kalau diperlukan, poster atau karya kami bisa dipinjam. Pas festival, wayang kardus yang kami buat juga ikut dipamerkan,” ungkap Yayak Yatmaka, perupa Taring Padi yang bermukim di Surabaya.

Bebe menjelaskan, workshop wayang kardus dilaksanakan lebih dulu di Jogjakarta. Pelaksanaannya dua kali. Pertama, di Omah Buku Kreatif di Kampung Ledok Tukangan, Kali Code. Kemudian dilanjutkan di Survive! Garage.

Wayang kardus punya sejarah sama panjangnya dengan eksistensi Taring Padi. Karya seni itu menjadi andalan komunitas tersebut selain seni cukil kayu dan lino block. Karena digunakan dalam arak-arakan, ukurannya dibuat life-size. Tinggi rata-ratanya mencapai 1,5 meter. Belum termasuk tambahan penyangga bambu.

Tujuan awalnya, ”memperbanyak” pasukan di tengah demo reformasi 1998. ”Bisa juga jadi alat pelindung. Ketika diginikan (diangkat), ia jadi benteng. Ketika diarahkan ke depan, jadi senjata,” kata Bambang Kristiono, salah seorang pengurus Taring Padi.

Saat mengunjungi Surabaya pada 7–8 September lalu, Taring Padi berpartner dengan Serikat Mural Surabaya. Di Jember, mereka menggandeng Museum Huruf. Di Malang, Taring Padi bersama komunitas tuan rumah –Pena Hitam dan Titik Dua Kolektif– menggandeng warga Kampung Warok, Desa Sumbersekar, Kabupaten Malang.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X