Peliput: M Ridhuan, Nofiyatul Chalimah, Riani Rahayu
Pertanian jadi sektor penting untuk memenuhi keperluan pangan warga. Namun sayang, keberadaannya kerap terancam oleh tambang. Bisa panen atau tidak, jadi tantangan para petani.
DI Istana Wakil Presiden (Wapres) RI, Senin (13/9) lalu, Kaltim dinobatkan sebagai provinsi kedua nasional di bawah Jawa Tengah. Sebagai daerah dengan nilai ekspor komoditas pertanian tertinggi untuk periode Januari 2020 hingga Juni 2021.
Penyerahan penghargaan itu adalah rangkaian dalam peringatan Hari Tani Nasional Tahun 2021. Sayangnya, prestasi itu tak menjadikan pertanian di Benua Etam keluar dari belenggu pertambangan batu bara.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang menjelaskan, dari 12,7 juta hektare daratan, wilayah produksi pangan di Kaltim hanya mendapat porsi kurang dari 40 persen. Sementara okupansi pertambangan mencapai lebih 43 persen dari luas daratan Kaltim. “Sekitar 5,2 juta hektare daratan di Kaltim dikapitalisasi menjadi konsesi pertambangan emas hitam,” kata Rupang, Jumat (24/9).
Belum termasuk perkebunan kelapa sawit yang disebut memiliki cakupan 3 juta hektare lahan. Di mana 1,5 juta hektare hak guna usaha (HGU), konon kabar yang diperolehnya sudah dilepaskan.
Ditambah adanya 2,5 juta hektare lahan berstatus izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI), izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHK-HA), dan izin lain untuk memanfaatkan hutan di Kaltim. “Jadi dari kondisi ini sudah memperlihatkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap pertanian khususnya ke arah ketahanan pangan Kaltim,” ujar Rupang.
Kebangkitan ekonomi berlandaskan pertanian pascatambang pun dalam pengamatannya tak memiliki progres berarti. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) yang dirumuskan pemerintah daerah untuk kemajuan pertanian, dari level musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), selalu bertolak belakang dengan kebijakan yang dilahirkan. Baik di level provinsi maupun pusat. “Meski disebut membawa aspirasi dari level bawah. Faktanya ‘memunggungi’ begitu sampai pada lahirnya kebijakan,” tuturnya.
Rupang mencontohkan, di Kutai Barat (Kubar) ada enam kampung yang kini yang terancam pertambangan batu bara. Yakni, Kampung Ongko Asa, Muara Asa, Geleo Asa, Pepas Asa, dan Juaq Asa di Kecamatan Barong Tongkok, dan Muara Benangaq di Kecamatan Melak. Di enam desa itu punya sejarah panjang menjadi lumbung pangan khususnya produksi padi gunung.
“Wilayah di sekitar Geleo Asa, Geleo Baru hingga melebar ke Muara Benangaq itu ada kawasan yang dijadikan proyek irigasi untuk persawahan. Lalu ada Bendungan Rapak Oros. Itu sudah masuk proyek APBN,” jelasnya.
Celakanya, dalam kawasan pertanian yang sudah dirumuskan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kaltim tersebut dikeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) batu bara oleh bupati Kubar.
IUP itu telah keluar di 2010 lalu atas nama PT KW. Namun belakangan, perusahaan tersebut menjual sahamnya ke PT GL. Rencananya penambangan dilakukan di areal seluas 5.010 hektare yang berada di enam kampung. Namun, karena ada satu kampung menolak, perusahaan hanya menambang di lima kampung.