Kejahatan Seksual, Perlu Penanganan Lebih Luas

- Kamis, 23 September 2021 | 15:21 WIB
Rani
Rani

Salah satu penyimpangan seksual yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak adalah pedofilia. Kasus ini kembali naik daun ketika salah satu artis dibebaskan di penjara dan kembali mendapat tempat tampil di layar kaca. Termasuk pelaku pedofilia seorang dosen di Balikpapan akhir-akhir ini. Mengapa ada penyimpangan tersebut?

 

PELAKU pedofilia memiliki dorongan seksual hingga perilaku yang melibatkan aktivitas seksual kepada anak berusia di bawah 13 tahun. Hingga paling berat terjadi kekerasan. Jika dikatakan penyebab, beberapa kasus ternyata pelakunya adalah korban kejadian serupa di masa lalu.

“Mungkin juga kasus di mana dia tidak mendapatkan relasi hubungan dari yang seusia. Misal usia 30 dan 25. Pernah ada kasus wanitanya dominan, sebagai laki-laki dia kehilangan identitas harga diri dan gengsinya. Sehingga kebutuhan menjadi dominan dia alihkan ke anak kecil,” ujar Psikolog Klinis Rr Rani Meita Pratiwi.

Bicara traumatis, anak-anak banyak belum paham jika dia adalah korban. Apa itu kekerasan, apa itu pelecehan hingga aktivitas seksual yang mungkin terjadi kepadanya dari orang lain.

Oleh sebab itu, perlu penggalian lebih dalam. Salah satunya terapi bermain. “Misal dengan boneka. Ditanya ngapain aja misal sama om? Nanti anaknya tunjukkin, dipegang di sini, ternyata di vaginanya. Anak-anak kan tidak punya kemampuan atau komunikasi yang baik ketika mengadu, ketahuannya ternyata pas buang air kecil kesakitan,” bebernya.

Lebih lanjut, beberapa kasus juga menyebut jika mereka yang traumatis dengan kejadian yang menimpa saat masih kecil. Kemudian bisa juga menjadi hyper karena menikmati. “Menganggap sebagai hal yang menyenangkan karena sudah terbiasa, tapi tidak paham konsepnya bahwa itu kejahatan seksual,” lanjut Rani.

Akhirnya ketika tumbuh dewasa, sudah merasa tidak berharga. Kemudian melampiaskan dan membalas dendam. Ingin agar orang merasakan posisinya dulu sebagai korban.

“Beberapa kasus seperti itu. Untuk mengetahui pelaku adalah korban, harus jujur dulu. Perlu pendalaman banget, membuka luka lama lagi. Enggak gampang sebenarnya,” jelas psikolog yang bertugas di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda itu.

Selain itu, pola asuh kurang efektif dari orang tua hingga lahir dari keluarga yang punya gangguan mental turut berpengaruh. Namun sebagian besar disebutkan Rani jika kasus yang ditemui adalah trauma masa lalu ketika menjadi korban.

Pelaku pun bisa siapa saja. Termasuk mereka yang dianggap berpendidikan tinggi seperti yang terjadi di Balikpapan. Rani menyebut jika bisa saja pelaku tidak mendapat relasi yang baik dengan lawan jenis. Mencari sosok yang bisa menuruti.

Dilihat dari sisi korban, kenapa anak-anak bisa terjebak? Rani membeberkan jika bisa saja anak melihat sosok dewasa yang melindugi dan memberi perhatian. Kemudian, anak juga mungkin belum diajarkan bagaimana menghadapi orang asing.

“Dengan iming-iming atau sikap baik. Kenapa korban bisa luluh dan ternyata kejadian itu berulang? Bisa jadi pelaku punya karakter yang dibutuhkan si korban, di mana dia enggak dapat di tempat lain atau mungkin di rumahnya,” kata Rani.

Namun untuk anak kecil, dia mengatakan umumnya karena ada unsur pemaksaan. Diberi imbalan hadiah berbentuk fisik atau barang. Meluluhkan untuk memanipulasi dan menjadi predator seks.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Raffi-Nagita Dikabarkan Adopsi Bayi Perempuan

Senin, 15 April 2024 | 11:55 WIB

Dapat Pertolongan saat Cium Ka’bah

Senin, 15 April 2024 | 09:07 WIB

Emir Mahira Favoritkan Sambal Goreng Ati

Sabtu, 13 April 2024 | 13:35 WIB
X