Membaca Dominasi Koalisi Pemerintah

- Selasa, 7 September 2021 | 10:15 WIB

Oleh:

Miftah Faried Hadinatha

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM asal Kukar.

 

Membaca koalisi pemerintah saat ini, seolah mengingatkan pada rezim sebelum era reformasi. Pada masa Orde Baru, kekuasaan presiden sangat besar tanpa dibarengi kontrol dari parlemen. Hal ini disebabkan konfigurasi kekuatan politik di parlemen nyaris menampilkan dominasi mesin politik pemerintah. Akibatnya, parlemen yang diidealkan sebagai pihak pengawas eksekutif, bertindak sebagai pengabsahan kebijakan pemerintah.

Gejala yang hampir sama juga terlihat belakangan. Jika PAN memang benar telah resmi bergabung dengan koalisi, secara persentase koalisi pemerintah di DPR akan berjumlah 81,9 persen atau 471 kursi. Kondisi demikian tentu persoalan serius. Sebab, jika dilacak ke belakang, mengapa ada reformasi dan amendemen konstitusi, salah satu alasannya mengurangi kekuasaan presiden, dan saat sama mendesain ulang tatanan DPR agar dapat menjalankan mekanisme checks and balances secara maksimal. Artinya, mengondisikan DPR dengan menjadi koalisi pemerintah secara penuh, sama saja mencederai keinginan reformasi dan, tentu saja, berbahaya bagi alam demokrasi.

Masalah lain yang tak kalah serius, bengkaknya dukungan politik DPR terhadap pemerintah, ialah pemimpin yang otoriter. Sebab, dalam batas penalaran wajar, apapun keinginan presiden, nantinya akan segera diaminkan DPR. Atau sebaliknya, koalisi di DPR memaksa presiden melakukan sesuatu, dan jika tuntutan itu tidak dipenuhi, segala kebijakan yang akan dikeluarkan presiden nantinya akan diganggu.

Multipartai

Salah satu penyebab bengkaknya koalisi parlemen di Indonesia, ialah perkawinan (haram) antara sistem presidensil dengan multipartai. Dalam banyak literatur, multipartai hanya akan berjalan dengan maksimal jika dipasangkan dengan sistem parlementer. Sementara kombinasi multipartai dalam sistem presidensil, terlebih jika dukungan politik di parlemen berbeda dengan pemerintah, menyebabkan hubungan keduanya tidak harmonis.

Makanya untuk menghindari keaadan tersebut, presiden biasanya rela membagikan kursi menteri kepada partai oposisi agar dukungan parlemen terhadap eksekutif semakin besar. Merujuk pengalaman masa lalu, khususnya awal pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019), kita diingatkan pada suatu konstelasi antara kekuaatan politik eksekutif dan legislatif saling berseberangan. Eksekutif dikuasai oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH), akan tetapi kursi di DPR dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) dengan jumlah 50 persen plus satu kursi. Komposisi KMP berubah seiring tiga partai: PPP, PAN, dan Golkar berubah haluan berkoalisi dengan KIH. Praktis selain KIH mendapat dukungan penuh di DPR, tiga partai tersebut mendapat posisi menteri.

Ironi pasangan sistem presidensil dengan multipartai, sebetulnya jauh hari telah diingatkan Scott Manwaring (1993). Menurut Manwaring, “I argue that the combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain”: kombinasi multipartai dengan sistem presidensil membuat stabilitas demokrasi sulit dipertahankan. Barangkali, kecenderungan kita terhadap multipartai memang dipengaruhi oleh Maklumat 3 November 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Muhammad Hatta silam. Artinya, memang sedari dulu, negara menginginkan agar banyak partai bermunculan di Indonesia.

Berbeda dengan Indonesia, Amerika berhasil membangun dua kekuatan partai politik terbesar: Republik dan Demokrat. Walaupun pada mulanya ada banyak partai, dalam perjalanannya Amerika berhasil membangun identitas yang pasti dan konsisten. Republik mempunyai karakter konservatif, Demokrat punya ciri khas liberal. Pertarungan keduanya sangat besar, sehingga warga Amerika paham betul mana partai yang akan dipilih.

Di Indonesia, sulit mendeteksi identitas partai. Tidak ada partai yang benar-benar nasionalis. Tidak ada juga partai yang benar-benar agamis, sehingga ada banyak partai politik bermunculan. Akibatnya, ada begitu banyak partai yang menjadi peserta pemilu, yang semakin banyak pula wajah partai di legislatif dan eksekutif yang, gilirannya menyebabkan sistem presidensil menjadi sulit dijalankan.

Amendemen UUD NRI 1945

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X