Oleh: Imran Duse
(Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda)
Dunia kini memikul gelobak pandemi yang melumatkan nyaris seluruh sendi kehidupan. Ketidakpastian dan kecemasan pun berkelindan, berhimpit dengan keruwetan pengambilan keputusan publik. Realitas ini bahkan jauh lebih mengerikan daripada Covid-19 itu sendiri.
Term ketidakpastian dan kecemasan juga mencuat saat transmisi Covid-19 merebak di Indonesia. Disebabkan berbagai adagium kontroversial pejabat yang kurang responsif: “enjoy aja”, “nasi kucing”, “negeri tropis”, “minum jamu”. Di fase awal krisis itu, LP3ES mencatat ada 37 pernyataan blunder (detikNews, 6/4/2020).
Buruknya komunikasi publik mengumpani munculnya ketidakpercayaan atas langkah penanganan pandemi. Kita pun kehilangan waktu berharga untuk didedikasikan bagi kampanye kesehatan masyarakat, kesiapsiagaan, dan prosedur medis menghadapi wabah.
Karena itu, tidak mengherankan jika hasil survey terbaru Indikator Politik Indonesia (IPI) seakan mengkonfirmasi amatan tersebut. Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi saat merilis secara virtual (25/8/2021) menunjukkan tren kepercayaan publik pada kemampuan pemerintah yang semakin menurun (https://www.youtube.com/watch?v=j2er6hMk1OE).
Begitu juga tingkat kepercayaan publik pada kemampuan Presiden Jokowi mengatasi pandemi yang sekarang tinggal 54,3%. Bandingkan dengan periode sebelumnya: 56,5% (April 2021), 60,7% (September 2020), 60,9% (Juli 2020), dan 67,7% (Mei 2020).
Tulisan ini menyoroti beberapa masalah tersebut untuk kemudian menyarankan tindakan perbaikan dalam aspek tata kelola informasi dan komunikasi publik.
Empati dan Partisipasi
Keberhasilan penanganan Covid-19 niscaya mengsyaratkan efektivitas komunikasi publik pemerintah guna menstimulasi partisipasi dan mengeliminasi resiko. Diseminasi desain kebijakan dan mitigasi bencana secepatnya mesti disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai saluran komunikasi.
Sebaliknya, komunikasi publik yang buruk akan menciptakan ambiguitas, penafsiran berbeda, hingga polemik di tengah masyarakat. Dari situ hoax mengintip: mencari celah untuk memupuk purbasangka dan sikap saling curiga. Sebuah contoh datang dari Jember, dua hari lalu. Bupati beserta 3 orang pejabat diberitakan menerima honorarium pemakaman korban COVID-19 masing-masing Rp 70,5 juta. Kabar ini pun menuai gelombang kecaman warganet yang luka-hatinya belum kering akibat bansos Covid-19 dicuri dengan cara yang ‘naudzubillah’.