Khoirul Amin
Dosen Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
Jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban dalam waktu singkat tanpa perlawanan menyusul kebijakan Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden untuk mengakhiri misi “Perang Terpanjang Amerika” menjadi sorotan utama Dunia Internasional dalam beberapa pekan terakhir. Bayang-bayang kemunduran kehidupan masyarakat Afghanistan di masa depan di bawah pemerintahan Taliban yang ekstrimis, terutama bagi nasib kaum perempuan dan anak-anak, penegakan hak asasi manusia, hingga peluang menjadi surga bagi kelompok-kelompok teroris adalah sederet kekhawatiran komunitas internasional seiring keberhasilan Taliban mengakhiri kekuasaan Presiden Ashraf Ghani dan kembali mengambil alih pemerintahan secara penuh sejak kekalahan besar mereka dua puluh tahun silam.
Tudingan terhadap kegagalan asistensi militer Amerika Serikat dibalik ketidakberdayaan pasukan militer Afghanistan dalam menghadapi ofensifitas kelompok Taliban adalah salah satu biang dari krisis yang terjadi. Bagaimana tidak, gelontoran dana miliaran dolar yang telah dihabiskan Pemerintah AS untuk membangun kekuatan militer Afghanistan sejak misi invasi dimulai pada tahun 2001, sama sekali tidak memenuhi ekspektasi kemampuan pasukan militer Afghanistan dalam mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang konstitusional.
Namun, perkara lain yang menarik untuk dicermati adalah ambisi sekali dayung Amerika Serikat untuk mendemokratisasikan Afghanistan justru menunjukkan kesalahan besar Amerika Sendiri dalam memahami “Perang tanpa akhir” di Afghanistan sebagai kebijakan mempertahankan demokrasi dan hegemoninya.
Optimisme dan mimpi besar menciptakan tatanan dunia yang lebih baik melalui eksperimen demokratisasi sejak awal masa invasi justru berakhir dengan semakin kentaranya ilusi nilai-nilai demokrasi barat yang dipaksakan. Alih-alih meninggalkan pondasi institusi yang ditopang nilai-nilai demokrasi yang kuat, penarikan diri Amerika Serikat tanpa syarat dari Afghanistan justru menjadi bukti kegagalan mega proyek demokrasi Washington dan pertanda akhir dari euforia hegemoni Barat sebagai standar ideal dalam membangun tatanan dunia.
Perang Panjang Pembebasan
Peristiwa 11 September 2001 (9/11) menjadi momentum babak panjang campur tangan Amerika Serikat di Afghanistan. Sesaat setelah peristiwa yang mendapat predikat sebagai serangan teror paling traumatis sepanjang sejarah Amerika Serikat tersebut, Presiden AS kala itu, George W. Bush dengan segera manabuh genderang perang kepada Al-Qaeda sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan itu, termasuk bagi kelompok Taliban di Afghanistan yang dituduh berperan dalam menghalangi upaya AS untuk mendapatkan Osama bin Laden dan pimpinan-pimpinan Al-Qaeda yang bersembunyi dan menyusun serangan teror dari wilayah negara tersebut.
Presiden Bush memastikan Taliban harus membayar mahal atas keputusan mereka. Di bawah kampanye “Global War on Terrorism” dan platform operasi jangka panjang “Operation Enduring Freedom”, tidak butuh waktu lama bagi militer Amerika Serikat untuk menggulingkan pemerintahan Taliban dan menghabisi basis-basis pasukan mereka. Pada bulan Desember 2001, Taliban secara resmi menyatakan kalah tanpa syarat kepada Amerika Serikat.
Keberhasilan menyingkirkan kekuasaan Taliban di Afghanistan tidak lantas mengakhiri misi Amerika Serikat di negara tersebut. Bersama NATO, Amerika Serikat berambisi membangun proyek demokrasi ala Barat di negara yang miskin, menderita dan hancur akibat perang berkepanjangan. Optimisme Presiden Bush kala itu dibangun atas keyakinan bahwa keberhasilan membangun demokrasi di Afghanistan tidak hanya akan membantu negara tersebut terbebas dari kejahatan, melainkan berguna bagi kelangsungan demokrasi di Amerika Serikat.
Meski secara formalitas unsur-unsur pemerintahan demokratis berhasil dibentuk, pemilihan umum diselenggarakan, kebebasan hak bagi perempuan-perempuan Afghanistan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan mengekspresikan diri di ruang publik tercapai, hingga tumbuhnya independensi media pemberitaan sebagai aspek penting dalam pemerintahan yang demokratis, nyatanya tidak cukup menjadi penopang yang kuat bagi kelembagaan demokrasi ala Barat yang dipaksakan pada sebuah negara yang hampir gagal.
Satu hal penting yang diabaikan Amerika Serikat dari Afghanistan adalah kehidupan yang multi etnis, ras, agama dan kompleksitas latar belakang sosial yang dipaksa berjalan di atas sistem demokrasi Barat justru berujung pada korupsi, ketimpangan sosial, serta kegagalan memenuhi stabilitas dan kebutuhan dasar masyarakat. Namun, demi mempertahankan proyek demokrasi yang telah menguras miliaran dolar sepanjang dua puluh tahun itu, jalan tersebut sengaja ditempuh. Tidak dapat dipungkiri, tesis keramat “The End of History” Francis Fukuyama memang telah menjadi asas tunggal pelaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat, khususnya dalam mengkampanyekan demokrasi liberal Barat. Atas nama keniscayaan demokrasi, jalan kekerasan dan perang seolah tampak sebagai jalan kebenaran.