Miftah Faried Hadinatha
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM
REFLEKSI, setidak-tidaknya, mempunyai arti perenungan agar tidak terjerembap oleh perilaku angkuh atau jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama. Refleksi adalah mengingat masa lampau, lalu menjadikannya pelajaran masa kini, kemudian mengekspresikannya untuk kepentingan masa depan.
Menginjak usia yang ke-76, Indonesia telah mengalami pasang surut dalam mewujudkan tujuannya; melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum.
Satu tahun terakhir, Indonesia belum dapat meloloskan diri dari jeratan Covid-19. Belum ada cahaya terang kapan pandemi ini berakhir. Ukurannya sederhana; sulitnya mencapai target penyebaran vaksin, pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang terus diperpanjang (dan tidak menutup kemungkinan akan diperpanjang lagi), kemunculan virus varian baru, dan sebagainya.
Namun, tidak ada nilainya rasa negatif terus ditebalkan. Sebaliknya, membenamkan diri pada optimisme mesti dilebarkan. Poin inilah yang disampaikan dalam pidato Presiden 16 Agustus 2021 lalu. Pidato yang dibacakan pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ini menjadi petunjuk untuk mengetahui hal-hal apa saja yang telah dilakukan negara selama satu terakhir, apa strategis yang dapat dilakukan ke depan. Serta bagaimana komitmen negara mengatasi masalah yang muncul dalam proses menjalani langkah-langkah tadi.
Tulisan ini mengambil posisi untuk merenungkan kejadian-kejadian satu tahun ke belakang.
Dinamika Politik dan Hukum
Kita masih ingat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama presiden telah menyetujui Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja berikut kontroversi yang mengitari di sekitarnya. Kita juga masih ingat tentang wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, menyeruak di atas permukaan. Juga masih segar ingatan soal polemik tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang belakangan, berdasarkan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada 11 pelanggaran HAM dalam proses tes itu.
Kemudian, kejutan juga datang dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mengabulkan permohonan uji formal undang-undang KPK yang baru. Sebagian ahli menilai, putusan yang dibuat MK tersebut dikhawatirkan menjadi kenangan buruk untuk pengujian formal undang-undang ke depan.
Saat bersamaan, menurut Covid19.go.id merilis akumulasi sebesar tiga juta empat ratus warga Indonesia terpapar virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok itu. Melihat angka yang demikian besar, dikaitkan dengan suasana politik dan hukum di Indonesia barusan, menunjukkan jurang pemisah pemenuhan kebutuhan warga masyarakat masih terbilang jauh.
Lain pihak, merujuk perkembangan terakhir, pemerintah telah berkali-kali memberlakukan kebijakan PPKM. Di mata pemerhati hukum, sukar menemukan dasar normatif pemberlakukan kebijakan tersebut. Menariknya, kebijakan ini juga diikuti beberapa daerah di Indonesia, padahal di sana terang tertulis bahwa istilah PPKM punya basis teritorial tertentu: Jawa dan Bali.
Padahal jika diperhatikan lagi, ada penelitian menunjukkan karantina wilayah, sebagaimana amanat Undang-Undang 6 Tahun 2008 (UU Kekarantinaan Kesehatan), lebih menjamin mendorong pengendalian virus serta mewujudkan kepatuhan masyarakat.