JAKARTA– Rencana untuk menggelar amandemen terbatas UUD 1945 belum disambut positif. Ajakan untuk bisa membahas pokok-pokok haluan negara (PPHN) itu direspon dingin sejumlah partai. Mereka menilai ada kepentingan masyarakat yang lebih mendesak diurus, dibanding membahas perubahan konstitusi.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan amandemen terkait PPHN baru sebatas wacana. Sejauh ini, pihaknya belum menyampaikan pandangan menyetujui atau menolak amandemen UUD 1945 itu. Ketua Harian Partai Gerindra itu menyebut, wacana itu masih dalam tahap pengkajian.
Menurutnya, apa yang disampaikan Ketua MPR baru sebatas wacana yang dilemparkan pada sidang tahunan. "Saya pikir segala sesuatu mesti dikaji secara mendalam, kemudian baru kita sama-sama memutuskan apakah mesti diamandemen atau tidak," tegasnya di gedung parlemen (19/8).
Partai Gerindra sendiri, lanjut dia, masih mengkaji perlu tidaknya PPHN dalam konstitusi. Belum ada keputusan terkait hal itu. "Kalau sampai sejauh ini di internal Gerindra, kami masih kaji. Sehingga saya belum bisa mengatasnamakan Gerindra, mengatakan ini perlu atau tidak," tegasnya.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid berpendapat sama. Dia menilai amandemen belum mendesak. Dia menyatakan, MPR memang perlu mengkaji pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Namun, MPR tidak harus mengejar amandemen UUD 1945 sesegera mungkin. Karena masih ada persoalan lain yang lebih urgen untuk diperhatikan.
"Karena ini rekomendasi MPR yang lama dan pimpinan MPR yang baru menyetujui adanya kajian terhadap PPHN, itu tetap dilakukan. Tapi kalau saya lihat secara pribadi, masyarakat ini ya (perlu fokus) menangani pandemi," terangnya.
Terpisah, Pendiri Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, amandemen UUD memang tindakan konstitusional. Namun, perlu dilihat terkait apa tujuannya. Apakah akan menguatkan atau justru melemahkan. "Apakah amandemen yang dilakukan akan memperkuat demokrasi presidensial kita atau tidak?," ujarnya.
Saiful mengingatkan, demokrasi Presidensial harus dijaga. Sebab, jika mengacu sejarah, berbagai desain seperti demokrasi parlementer hingga demokrasi MPR-isme sudah terbukti gagal dalam menciptakan stabilitas politik. "Dengan segala plus minusnya, demokrasi presidensial 2004 sampai sekarang membuat politik cukup stabil, pembangunan lumayan berjalan," imbuhnya.
Ide memasukkan PPHN membuat MPR punya kewenangan lebih. Jika PPHN harus dipatuhi presiden, maka secara logika MPR di atas presiden. Hal itu kata Saiful menyalahi demokrasi. "Itu mengubur demokrasi presidensialisme kita yang dalam sejarah terbukti lebih baik dari parlementarisme maupun MPR-isme," tegasnya.
Nah, jika peran MPR diperkuat, Saiful menilai demokrasi presidensial melemah. Sebab, hakikat demokrasi presidensial adalah presiden dipilih langsung rakyat. Presiden diberi mandat rakyat untuk menjalankan program yang dijanjikan, dengan masa berkuasa yang diatur konstitusi. (deb/far/bay)