Perlahan tapi pasti, rencana relokasi Pasar Dayak di Jalan PM Noor dan Pasar Subuh di Jalan Yos Sudarso ke lokasi baru bakal terwujud. Lahan baru di Jalan PM Noor sekitar 100 meter dari lokasi lama, saat ini dalam persiapan pembebasan lahan, yang rencananya dilaksanakan melalui anggaran perubahan (APBD-P).
SAMARINDA–Begitu juga untuk desain arsitektur pasar, sudah dipresentasikan ke wali kota Samarinda, OPD terkait, dan perwakilan pedagang, Kamis (5/8).
Ditemui setelah rapat presentasi, Wali Kota Samarinda Andi Harun memaparkan, pembahasan rencana pembangunan pasar sudah mencapai bagian teknis. Seperti desain arsitektur bangunan di lahan 35x50 meter persegi, jumlah lapak yang bisa diakomodasi, pembagian segmen pedagang misalnya untuk menjual barang kerajinan tangan, bagian kering (sayur), dan bagian basah (ikan dan daging), saluran instalasi pengolahan air limbah (IPAL), hingga fasilitas penunjang lainnya. Jumlah lapak yang bisa diakomodasi sekitar 100 lapak.
“Pada lahan yang tersedia, area penunjang lebih besar bahkan mencapai 57 persen. Dengan bangunan satu lantai,” ucapnya, kemarin.
Selain itu, turut dibahas rencana pengadaan lahan untuk akses masuk, karena lahan utama pasar berada di belakang, bukan di pinggir jalan utama, dengan luas sekitar 6x60 meter persegi. Saat ini pedagang yang bakal diakomodasi masih dikonsolidasikan, dengan prioritas adalah yang saat ini aktif berjualan. “Rencananya menggabungkan pasar tradisional dan kerajinan,” singkatnya.
Sementara itu, membahas soal desain arsitektur, Kabid Cipta Karya, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Samarinda Cecep Herly menjelaskan, rencana relokasi dua pasar bertujuan merapikan dan mengembangkan tata kota sebagaimana kebijakan wali kota. Sedangkan dalam kerangka arsitektur yang menyangkut teknologi, yakni mengambil dasar sosioteknologi, memosisikan masyarakat sebagai subjek dalam hal pembelajaran tentang bagaimana berbelanja yang bersih dan baik.
“Kami juga mendengarkan opini masyarakat untuk menyiapkan area yang etnik, tidak hanya menjual sayuran atau daging layaknya pasar tradisional,” ucapnya.
Sedangkan dari sisi struktur bangunan, Cecep menyebut, kawasan tersebut merupakan catchment area atau rawa, sehingga persoalan konstruksi dari sisi penganggaran menjadi tinggi. Pihaknya mencoba memberi masukan dari sisi social engineering (rekayasa sosial), yakni dengan menggunakan bahan yang murah namun tetap mengedepankan semua fungsi, baik sosial hingga budaya.
“Anggaran sekitar Rp 6 miliar. Meliputi konstruksi bangunan termasuk IPAL sekitar Rp 1,5 miliar. Tetapi dengan terbangunnya pasar, akan menjadi contoh bagi pembangunan selanjutnya. Air limbah yang dibuang lebih aman dan layak,” terangnya.
Dia menambahkan, sesuai aturan pengadaan barang dan jasa nantinya instansi yang akan membangun fisik adalah Dinas Perdagangan, di mana dinas PUPR sifatnya membantu bagaimana pembangunan bisa mengakomodasi semua kepentingan. Termasuk menyesuaikan keterbatasan anggaran. “Modern tidak harus mahal,” kuncinya. (dns/dra/k8)