SAMARINDA–Besaran APBD jadi tolok ukur sejauh mana pertumbuhan ekonomi daerah. Melorotnya ekonomi daerah imbas pembatasan aktivitas selama upaya menekan penyebaran pandemi berpotensi membuat tubuh anggaran daerah kian kempis. Pemerintah perlu menyiasati agar pundi-pundi tak terus tergerus.
Terlebih pembangunan daerah yang diharapkan menstimulus perekonomian juga terkikis, karena sebagian anggaran disisihkan untuk penanganan pandemi. Di Samarinda misalnya, APBD 2021 yang diketuk berkisar Rp 2,5 triliun dan diprediksi bakal melorot jika menilik perekonomian Kota Tepian sejauh ini.
“Sudah saatnya pemkot menginisiasi agar tak terus-terusan terjebak dalam lingkaran seperti itu. Perlu instal ulang pola penggunaan anggaran,” ungkap Ketua Komisi III DPRD Samarinda Angkasa Jaya Djoerani.
Penanganan pandemi jelas tak bisa diganggu gugat. Terlebih, hal itu terintegrasi langsung ke pemerintah pusat. Namun, sambung dia, pemkot mesti mengakali kekosongan ruang dalam tubuh APBD dengan mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Terlebih target yang dipatok justru stagnan beberapa tahun terakhir.
“Pajak atau retribusi itu kan bukan sekadar kewajiban masyarakat. Tapi juga kebijakan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi, harusnya fluktuatif bukan stagnan,” ulas politikus PDI Perjuangan Samarinda itu.
Sebagai contoh, penerapan pajak hiburan yang diturunkan sekitar delapan tahun silam. Saat itu, lanjut Jaya, begitu dia disapa, ketika dia memimpin Komisi II DPRD Samarinda opsi menurunkan besaran pajak hiburan untuk bioskop. Pajak diturunkan dengan syarat ada pembangunan bioskop baru di Samarinda. Walhasil, tumbuh subur dan menarik usaha-usaha lain. “Langkah seperti itu yang dibutuhkan, menstimulus. Kalau melulu ngeluh karena Covid-19 ya bakal terus melorot APBD,” jelasnya.
Di tengah pandemi, pajak bisa saja diturunkan, namun harus punya efek jelas yang luas untuk pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, kelesuan yang ada saat ini mestinya bisa disiasati. Mencari pundi-pundi lain tak melulu harus bergantung uluran tangan provinsi atau pusat. Pemkot punya segudang pembangunan yang sekadar monumental namun minim asas manfaatnya.
Polder Air Hitam, misalnya. Disebut sebagai kolam retensi mengendalikan banjir jelas tak mungkin dengan kondisinya saat ini yang saban hari terisi air. Bentuknya yang menjadi danau buatan justru bisa diakali dengan menggandeng pihak ketiga untuk menciptakan kawasan baru menumbuhkan ekonomi yang tengah lesu.
“Jangan sekadar monumental lagi, harus melihat efeknya seperti apa. Selama menumbuhkan ekonomi kota, silakan lanjutkan. Jika sekadar monumental belaka, mending tidak,” kuncinya. (ryu/dra/k8)